Daftar Blog Saya

Kamis, 07 Oktober 2010

syeikh Abdul Muhsin al-Abbad berbicara masalah tahdziran


Oleh :
Al-Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad[2]

dikutip dari (http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/13870)


Yang mendekati dengan kebid’ahan menguji manusia dengan perseorangan (membicarakan fulan pent.) yang terjadi dewasa ini dari segelintir (sekelompok kecil) ahlus sunnah yang terobesi dengan mencela (tajrih) saudara-saudaranya sesama ahlus sunnah dan membid’ahkan (tabdi’) mereka, sehingga mengakibatkan pemboikotan (hajr), Saling memotong hubungan (taqathu’) dan memutuskan jalan kemanfaatan dari mereka. Tajrih dan tabdi’ tersebut dibangun di atas dugaan suatu hal yang tidak bid’ah namun dianggap bid’ah.

Sebagai contohnya adalah dua syaikh kita yang mulia, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmati mereka berdua, telah menfatwakan bolehnya memasuki suatu jama’ah (yayasan khairiyah pent.) dalam beberapa perkara yang mereka pandang dapat mendatangkan kemaslahatan dengan memasukinya. Dari mereka yang tidak menyukai fatwa ini adalah kelompok kecil tadi dan mereka mencemarkan jama’ah tersebut. Permasalahannya tidak hanya berhenti sebatas ini saja, bahkan mereka menyebarkan aib (menyalahkan) siapa saja yang bekerja sama dengan memberikan ceramah pada jama’ah tersebut dan mereka sifati mereka sebagai mumayi’ (orang yang bermanhaj encer/lunak terhadap ahlul bid’ah pent) terhadap manhaj salaf, walaupun kedua syaikh yang mulia tadi pernah memberikan ceramah pada jama’ah ini via telepon.

Perkara ini juga meluas sampai kepada munculnya tahdzir (peringatan) untuk menghadiri pelajaran (durus) seseorang dikarenakan orang tersebut tidak berbicara tentang fulan Fulani atau jama’ah fulani. Keangkuhan mungkin telah menguasai pada salah seorang dari murid-muridku[3] di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H. Tingkatannya waktu itu adalah ke-104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang tersebar (diakui), tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, sedikit atau banyak.

Bagian terbesar dari ciri khasnya adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas ahlus sunnah, padahal si pencela (Jarih) ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.

Keanehan ini tidak berakhir ketika seorang yang berakal mendengarkan sebuah kaset yang berisi rekaman percakapan telepon yang panjang antara Madinah dan Aljazair[4]. Di dalam kaset ini, fihak yang ditanya ‘memakan daging’ mayoritas ahlu sunnah, dan di dalamnya pula si penanya memboroskan hartanya tanpa hak. Orang-orang yang ditanyainya mencapai hampir 30-an orang pada kaset ini, diantara mereka (yang ditanyakan) adalah Wazir (menteri), ulama kabir dan shaghir, juga di dalamnya ada sekelompok kecil yang tidak merasa disusahkan (yang tidak dicela karena termasuk kelompok kecil tersebut, pent.). Bahkan, yang selamat dari rekaman ini adalah orang-orang yang tidak disebutkan di dalamnya, namun mereka-mereka yang selamat dari kaset ini tidak selamat dari kaset-kaset lainnya[5]. Penyebaran utamanya adalah dari situs-situs informasi internet[6].

Wajib baginya menghentikan memakan daging para ulama dan para thullabul ‘ilm dan wajib pula bagi para pemuda dan penuntut ilmu untuk tidak mengarahkan pandangannya kepada tajrihat (celaan-celaan) dan tabdi’at (pembid’ahan) yang merusak tidak bermanfaat ini, serta wajib bagi mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat yang akan membawa kebaikan dan akibat yang terpuji bagi mereka di dunia dan akhirat.

Al-Hafidh Ibnu Asakir –rahimahullah- mengatakan dalam bukunya, Tabyinu Kadzibil Muftarii (hal 29), “Ketahuilah saudaraku, semoga Allah menunjuki kami dan kalian kepada keridhaan-Nya dan semoga Dia menjadikan kita orang-orang yang takut kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, bahwasanya daging para ulama –rahmatullahu ‘alaihi- adalah beracun dan merupakan kebiasaan Allah menyobek tabir kekurangan mereka yang diketahui.” Dan telah kujabarkan dalam risalahku, Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, sejumlah besar ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar berkenaan tentang menjaga lisan dari mencerca ahlus sunnah, terutama terhadap ulamanya.

Kendati demikian, hal ini tidaklah memuaskan sang pencela (jarih), bahkan dia mensifati risalahku tersebut tidak bermanfaat untuk disebarkan. Dia juga mentahdzir risalahku dan orang-orang yang menyebarkannya. Tidak ragu lagi, barang siapa yang mengetahui celaan (jarh) ini dan menelaah risalahku, ia akan menemukan bahwa perkara ini di satu lembah dan risalahku di lembah yang lain, dan hal ini sebagaimana yang dikatakan seorang penyair :

Qod tunkiru al-‘Ainu Dhou’ asy-Syamsi min romadin

Wa yunkriru al-Fammu tho’ma al-Maa’ min saqomin

Mata boleh menyangkal cahaya matahari dikarenakan sakit mata

dan mulut boleh menyangkal rasa air dikarenakan sakit mulut

Adapun ucapan murid pencela ini terhadap risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, ucapannya : “misalnya tentang anggapan bahwa manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan manhaj Syaikh Utsaimin menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah yang lainnya, maka hal ini adalah suatu kesalahan tidak diragukan lagi, yakni mereka berdua tidak memperbanyak bantahan dan membantah orang-orang yang menyimpang. Hal ini, sekalipun benar dari mereka, maka (ini artinya manhaj mereka) menyelisihi manhajnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan yang demikian ini artinya adalah sebuah celaan bagi kedua syaikh tersebut atau lainnya yang punya anggapan demikian!!!”

Maka jawabannya dari beberapa sisi :

Pertama, hal tersebut tidaklah terdapat di dalam risalahku bahwa Syaikh Abdul Aziz tidak memperbanyak bantahan. Bahkan, bantahan beliau banyak. Hal ini telah diterangkan dalam risalahku (hal. 51) sebagai berikut : “Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan keramahan dan lemah lembut disertai dengan keinginan kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya apabila kesalahannya jelas dan tampak. Selayaknya seorang yang hendak membantah orang lain, merujuk kepada metodenya Syaikh Ibnu Bazz ketika membantah untuk kemudian diterapkannya.”

Kedua, Sesungguhnya aku tidak mengingat telah menyebutkan manhaj Syaikh Utsaimin di dalam membantah, dikarenakan aku tidak tahu, sedikit atau banyak, apakah beliau memiliki tulisan-tulisan bantahan. Aku pernah bertanya kepada salah seorang murid terdekatnya yang bermulazamah kepadanya sekian lama tentang hal ini, dan dia memberitahuku bahwa dia tidak mengetahui pula apakah syaikh memiliki tulisan-tulisan bantahan. Yang demikian ini tidaklah menjadikan beliau tecela, dikarenakan beliau terlalu sibuk dengan menjalankan ilmu, menyebarkannya dan menulis.

Ketiga, bahwasanya manhajnya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu- berbeda dengan manhaj sang murid pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan manhajnya syaikh dikarakteristiki oleh keramahan, kelembutan dan keinginan kuat untuk memberikan manfaat kepada orang yang dinasehati dan demi menolongnya ke jalan keselamatan. Adapun sang pencela dan orang-orang yang serupa dengannya, manhajnya dikarakteristiki dengan kekerasan (syiddah), tanfir (menyebabkan orang menjadi lari) dan tahdzir[7]. Dan mayoritas orang yang dicelanya di dalam kaset-kasetnya adalah orang-orang yang dulunya dipuji oleh Syaikh Abdul Aziz, yang beliau dakwahi dan beliau anjurkan mereka untuk berdakwah dan mengajari manusia serta mendorong dan beristifadah (mengambil manfaat) dari mereka.

Walhasil, sesungguhnya aku tidak menisbatkan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu- tentang ketiadaan-bantahannya terhadap orang lain. Adapun Ibnu ‘Utsaimin, aku tidak ingat pernah menyebutkan dirinya pada perkara bantahan, dan apa yang dikatakan si pencela ini tidak sesuai dengan risalahku. Hal ini merupakan dalil yang nyata tentang kesembronoannya dan ketidakhati-hatiannya (tanpa tatsabut). Jika hal ini dari dirinya tentang ucapan yang tertulis, lantas bagaimana keadannya tentang apa-apa yang tidak tertulis???

Adapun ucapan pencela risalahku, “Aku sesungguhnya telah membaca risalah tersebut, dan aku telah mengetahui bagaimana sikap Ahlus Sunnah terhadap risalah ini. Semoga engkau akan melihat bantahannya dari sebagian ulama dan masyaikh, dan aku tidak menduga bahwa bantahan-bantahan tersebut akan berhenti sampai di sini, sesungguhnya akan ada lagi yang membantahnya, karena sebagaimana dinyatakan oleh seorang penyair :

Ja’a Syaqiiqun ‘Aaridlun romhuhu

Inna Baniyya ‘Ammika fiihim romaah

Datang Syaqiq (Saudara kandung) yang mempersembahkan tombaknya

Sesungguhnya Bani (anak-anak) pamanmu telah memiliki tombak.”

Demikianlah (yang dinyatakan si pencela ini), Aaridlun (sebagai na’t/sifat pent.), padahal yang benar aaridlon (sebagai haal pent.)

Tanggapan : Bahwasanya Ahlus Sunnah yang ia maksudkan adalah mereka yang manhajnya berbeda dengan manhajnya Syaikh Abdul Aziz –rahimahullahu- yang telah kutunjukkan barusan, dan ia dengan perkataannya ini (bermaksud) menghasut (membangkitkan semangat) orang-orang yang tidak mengenal mereka untuk mendiskreditkan risalahku setelah ia menghasut orang-orang yang mengenal mereka.

Sesungguhnya aku tidak melontarkan tombak, namun sesungguhnya diriku hanya menyodorkan nasihat yang tidak mau diterima oleh si pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan nasehat itu bagi orang yang dinasehati, bagaikan obat bagi orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang sakit menggunakan obat ini walaupun rasanya pahit dengan harapan akan memperoleh manfaat.

Diantara orang-orang yang dinasehati tersebut ada yang menjadikan hawa nafsunya menjauh dari nasehatku, tidak mau menerimanya bahkan mentahdzirnya. Aku memohon kepada Allah seluruh taufiq-Nya, hidayah dan keselamatan dari tipu muslihat dan makar Syaithan.

Ada tiga orang yang menyertai si pencela ini, yang dua di Makkah dan Madinah dan kedua-duanya dulu muridku di Universitas Islam Madinah. Orang yang pertama lulus tahun 1384-1385[8] sedangkan yang kedua lulus tahun 1391-1392[9]. Adapun orang yang ketiga berada di ujung selatan negeri ini[10]. Orang yang kedua dan ketiga inilah yang mensifati orang-orang yang menyebarkan risalahku sebagai mubtadi’, dan tabdi’ ini merupakan tabdi’ keseluruhan dan umum, aku tidak tahu apakah mereka faham atau tidak, bahwa yang menyebarkan risalahku adalah ulama dan penuntut ilmu yang disifatkan dengan bid’ah.

Aku berharap mereka mau memberikanku masukan/alasan mereka atas tabdi’ mereka yang mereka bangun secara umum, jika ada, untuk diperhatikan lagi.

Syaikh Abdurrahman as-Sudais, Imam dan Khathib Masjidil Haram, pernah berkhutbah di atas mimbar di Masjidil Haram yang di dalamnya beliau mentahdzir dari sikap saling mencela Ahlus Sunnah satu dengan lainnya. Hendaknya kita alihkan perhatian kita kepada khuthbahnya, karena sesungguhnya khuthbahnya begitu penting dan bermanfaat.

Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla untuk menunjuki seluruh ummat kepada apa yang diridhai-Nya, agar mereka mendalami agama mereka (tafaqquh fid din) dan menetapi kebenaran, serta agar mereka menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang tidak bermanfaat. Sesungguhnya Ia berkuasa dan berkemampuan atasnya. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya.



Dialihbahasakan oleh Abu Salma dari kutaib al-Hatstsu ‘alat-tib`is Sunnah wa tahdziiri minal Bida’i wa Bayaanu Khatharaha dengan beberapa tambahan footnote dari beberapa sumber.

Disebarkan oleh Lajnah Dakwah wa Ta’lim FSMS (Forum Silaturrahim Mahasiswa as-Sunnah) Surabaya

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ini adalah petikan pasal terakhir dari kutaib Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad –hafidhahullahu- yang berjudul al-Hatstsu ‘alat-tiba`is Sunnah wa tahdziiri minal Bida’i wa Bayaanu Khatharaha. Risalah ini adalah risalah yang paling akhir yang beliau tulis setelah risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah yang dikritisi oleh sebagian masyaikh (sekelompok kecil menurut istilah beliau). Sebagaimana dalam risalah Rifqon, beliau membahas kaidah-kaidah dasar terlebih dahulu beserta dalil-dalilnya, baru kemudian beliau masuk ke inti pembahasan tanpa berdalam-dalam mengupasnya. Bahkan beliau dalam mengkritik sesama ahlus sunnah, beliau lakukan dengan lemah lembut dan tanpa menyebutkan orangnya, namun hanya mengisyaratkan saja. Hal ini menunjukkan bagaimana halus dan lembutnya syaikh dalam menasehati dengan harapan orang yang dinasehati tersebut akan kembali. Bukan dengan cara-cara mencela dan membongkar aibnya sehingga menjadikan orang yang dinasehati semakin lari menjauh dari nasihatnya.

Dalam risalah ini syaikh menjelaskan terlebih dahulu tentang sifat-sifat syariat, kekekalan, keuniversalitasan dan kesempurnaannya. Kemudian syaikh menjelaskan definisi Sunnah dan Bid’ah dengan menyertakan dalil-dalilnya, beliau terangkan dengan gamblang tentang bahaya bid’ah dan kewajiban mentahdzirnya sembari beliau bantah pemahaman yang menyatakan adanya bid’ah hasanah. Beliau juga menerangkan perbedaan antara Mashlahah Mursalah dan menyatakannya bukan sebagai bentuk bid’ah. Beliau menjelaskan pula tentang kewajiban berpegang dengan sunnah baik ushul maupun furu’nya, lengkap dengan dalil dan penukilan-penukilan ucapan ulama salaf. Sebelum menjelaskan tentang bahaya fitnah tajrih (mencela) dan tabdi’ (membid’ahkan), syaikh menerangkan diantara jenis bid’ah yang sering dilalaikan ummat, yaitu bid’ah menguji manusia dengan perseorangan, yang kebanyakan beliau nukil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[2] Beliau adalah al-Allamah al-Muhaddits al-Faqih az-Zahid al-Wara’ asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al-‘Abbad al-Badr –semoga Allah memelihara beliau dan memperpanjang usia beliau dan memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah Azza wa Jalla.

Beliau lahir di ‘zalfiy’ pada tahun 1352H. dan sekarang beliau menjadi salah seorang khathib di Masjid Nabawi dan memberikan pelajaran Sunan Abu Dawud dan pelajaran hadits lainnya. Beliau adalah seorang yang ‘Alim Robbaniy dan pernah menjabat sebagai wakil mudir Universitas Islam Madinah yang waktu itu mudirnya adalah al-Imam Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu-.

Beliau sangat dekat dengan al-Imam al-Allamah Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu-, bahkan karena kedekatan beliau dengan al-Imam, ketika Imam Bin Bazz tidak ada (tidak hadir) maka Syaikh Abdul Muhsinlah yang menggantikan beliau, sehingga tak heran jika ada yang mengatakan bahwa Universitas Islam Madinah dulu adalah Universitasnya Bin Bazz dan Abdul Muhsin.

Semenjak kecil beliau telah biasa berkutat dengan ilmu, sehingga ketika beliau telah menginjak dewasa, beliau benar-benar menunjukkan dirinya sebagai seorang muhadits yang ulung, yang sering dirujuk oleh masyaikh dan thullabul ilmi lainnya. Kedekatan beliau dengan masyaikh kibar telah mengukir keilmuan beliau hingga saat ini, dimana usia beliau saat ini kurang lebih 72 tahun dan beliau masih sanggup untuk memberikan muhadharah dan nasihat dan menyampaikan pelajaran hadits (terutama Sunan Abi Dawud) baik riwayah maupun dirayah.

Diantara guru-guru beliau adalah :

al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullahu-
al-Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz -rahimahullahu-
al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithy –rahimahullahu-
al-Allamah asy-Syaikh Abdurrahman al-Afriqy –rahimahullahu-
al-Allamah asy-Syaikh Abdur Razaq Afifi –rahimahullahu-
al-Allamah asy-Syaikh Umar Fulatah –rahimahullahu-
dan masih banyak lagi. Yang disebutkan di atas adalah guru-guru beliau yang paling mempengaruhi diri beliau sehingga membentuk karakter seperti Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.

Beliau memiliki banyak karangan dan rekaman kaset-kaset ilmiah yang melimpah diantara karya tulisnya adalah :

- ‘Isyruuna Hadiitsan min Hadiitsil Bukhaariy

- ‘Isyruuna Hadiitsan min Shohihil Imam Muslim

- Min Akhlaaqi Rasulil Kariim

- Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah fish Shahabatil Kiram

- Fadhlu Ahlil Bait wa Uluwwu Makanatihim ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah

- Aqidah Ahlus Sunnah wal Atsar fil Mahdi al-Muntazhar

- Ar-Raddu ‘ala ar-Rifa’iy wal Buthy

- Al-Intisharu lishahaabati al-Akhyar fi raddi abathil Hasan al-Maliki

- Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu namuwdzaj minar Ra’iylil Awwal

- Asy-Syaikh Umar bin Abdirrahman Fulatah wa kaifa araftuhu

- Al-Ikhlash wal Ihsan wal Iltizaamu bisy-Syari’ah

- Fadhlul Madinah wa Aadabu Sukkanaha wa Ziyarotiha

Dan masih banyak lainnya. Beliau juga memiliki banyak kaset-kaset ceramah yang terekam, diantaranya adalah :

- Syarh Mukhtashor Alfiyyah as-Suyuthi (57 Kaset)

- Al-Qirwaniyyah (14 Kaset)

- Syarh Shahih al-Bukhary (623 kaset dan belum selesai)

- Sunan an-Nasa`iy (414 kaset)

- Sunan Abi Dawud (272 kaset dan masih berlangsung)

- Kitabush Shiyam min Lu’lu’ wal Marjan (7 kaset)

- Aadabul Masyi ilash Sholah (14 kaset)

Dan masih banyak lainnya lagi. Ilmu dan waktu beliau benar-benar berkah, apalagi di usia beliau yang lebih dari tujuh puluh, beliau masih sempat dan sanggup memberikan nasehat beliau bagi generasi muda salafiyin.

Beliau memiliki putra yang juga ‘alim yang bernama Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, yang produktif dan cemerlang. Beliau memiliki banyak murid, diantaranya adalah :

Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly
Syaikh al-Allamah Ubaid al-Jabiry
Syaikh al-Allamah Abdul Malik Ramadhani al-Jazairy
Syaikh al-Allamah Ibrahim ar-Ruhaily
Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby
Dan masih banyak lagi.

Tidak diragukan lagi, beliau adalah ulama Ulama Robbaniy saat ini yang dianggap paling senior. Namun, sungguh tak beradab, tatkala Syaikh al-‘Alim ini dicerca bahkan direndahkan oleh sebagian manusia-manusia tak tahu diri yang masih ingusan namun merasa sok alim. Mereka merendahkan dan menjatuhkan kewibawaan Syaikh dengan menyatakan bahwa Syaikh Abdul Muhsin bermanhaj tamyi’ (encer terhadap ahlul bid’ah) atau tidak faham realita saat ini (tuduhan ini seperti pendapatnya sururiyin yang menyatakan ulama tak faham waqi’/realita) tentang beberapa perkara fitnah dimana Syaikh Abdul Muhsin memiliki sikap yang berseberangan dengan beberapa masyaikh.

Mereka, para pemuda ingusan yang ghuluw tersebut, dengan kedangkalan ilmunya dan dibakar oleh semangat jahiliyahnya, berani mencela risalah Syaikh yang berjudul Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, dan mereka mengutip perkataan beberapa masyaikh kiram (yang mulia) tentang dilarangnya menyebarkan risalah ini. Wallahul musta’an.

Fal hamdulillah, Syaikh yang mulia ini bangkit dan mengklarifikasi isi risalahnya terdahulu dari para pengkritik, bahkan beliau mentahdzir salah seorang murid beliau yang menurut beliau sudah berlebihan dalam bersikap. Maka, risalah al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wa tahdzir minal bida’ wa bayaanu khatharaha ini muncul dan beredar, menunjukkan kekokohan manhaj Syaikh yang diperpeganginya sebagaimana manhajnya guru-gurunya terdahulu.

[3] Yang beliau maksudkan di sini adalah Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby –wafaqohullahu-, sebagaimana telah maklum di kalangan Mahasiswa Islam Madinah tatkala Syaikh Abdul Muhsin memberikan ceramah dan menjabarkan isi kutaibnya ini. Hal ini diperkuat dengan munculnya tahdzir dari dua Masyaikh Yordan, yakni Syaikh Muhammad Musa Nashr dan Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly –hafidhahumallahu-, kepada Syaikh Falih bin Nafi’ yang dimuat di dalam situs Muntada al-Albany, www.almenhaj.com, yang menukil ucapan Syaikh di atas.

[4] Transkrip kaset ini telah disebarkan ke situs www.sahab.net dan www.anasalafi.net, yang dikumpulkan dan ditranskrip oleh Abu Adunah Ied al-Jazairi dengan judul Rudud wa Masa`il fil Manhaj. Kami memiliki kopian transkrip ini dan beberapa transkrip dari kaset-kaset Syaikh Falih –wafaqohullahu- lainnya yang isinya tahdzir dan tajrih kepada mayoritas Ulama Ahlus Sunnah, seperti Syaikh Bakr Abu Zaed yang dikatakan takfiri, Syaikh Abubakar Jabir al-Jazairi dikatakan jahil, Syaikh Muhammad Jamil Zainu dikatakan bukan ulama dan tak dapat membedakan antara salafi dan hizbi, syaikh Musa Nashr dan Husain al-Awaisyah dikatakan di atas manhaj mereka kaum hizbiyun, Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin dikatakan tamyi’ sebagaimana manhajnya Syaikh al-Allamah Abdul Malik Ramadhani yang beliau tuduh tamyi’, dan masih banyak lagi. Kami mendapatkan URL transkrip ini dari seorang fanatikus mantan Laskar Jihad yang ingin menunjukkan bahwa Masyaikh Yordania telah ditahdzir sehingga tidak perlu berpegang dengan pendapat mereka. Allahul Musta’an!!!

[5] Dalam kaset-kaset dan kesempatan lainnya, berpuluh-puluh masyaikh salafiyin tidak selamat dari tajrih dan bahkan tabdi’ beliau. Oleh karena itu Syaikh Ubaid al-Jabiri pernah mengeluarkan maklumat di penghujung tahun 1424 yang isinya mengklarifikasi tabdi’ Syaikh Falih kepada beberapa masyaikh salafiyin seperti Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili, Sulaiman ar-Ruhaili, dan lain-lain. Terakhir, beberapa Syaikh Kibar seperti Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkholy dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi membantah dan menasehati Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby. Semoga Allah memberkahi para ulama kita yang saling menasehati dalam rangka menetapi kebenaran dan kesabaran.

[6] Penyebaran utamanya adalah syubkah sahab.net dan anasalafi.net. Al-Allamah asy-Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi telah memberikan nasehat yang cukup pedas kepada webmaster syubkah anasalafi.net untuk memperhatikan uslub dakwahnya. Beliau juga menasehatkan bagi sahab.net dan situs-situs salafiy lainnya untuk memperhatikan risalah-risalah yang akan dimuat secara mendalam maslahat dan masharatnya, dan beliau menasehatkan supaya tidak memasukkan artikel-artikel dari orang-orang yang majhul dan hanya menggunakan kunyah. Semoga Allah memberkahi ilmu Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholy.

[7] Sekarang coba perhatikan situs mantan Laskar Jihad www.salafy.or.id!!! Pembaca budiman akan mendapatkan bahwa modal utama yang dijajakan situs ini adalah tahdzir dan tajrih. Mereka mengklaim bahwa situs ini adalah situs Jarh wa Ta’dil di Indonesia, aduhai sungguh mudah mengklaim daripada membuktikan, sebagaimana peribahasa mengatakan ad-Da’awiy maa lam tuqiimu ‘alaiha bayyinatin abna’uhaa ad’iyaa’ (Pengaku tanpa disertai bukti hanyalah pengaku-ngaku belaka). Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad telah menjelaskan kekeliruan klaim Jarh wa Ta’dil ini dalam transkrip tanya jawab beliau dengan seorang Yamani, yang pernah kami kirimkan dalam milis assunnah beberapa waktu silam. Silakan dirujuk karena besar manfaatnya.

Terlebih lagi, seorang pembaca yang berakal, pasti akan mengetahui dengan gamblang bagaimana manhaj ghuluw (ekstrim dalam mencela dan membid’ahkan) tidak akan menghasilkan kemanfaatan bagi ummat, bahkan akan menimbulkan perpecahan di tubuh ummat sendiri. Sebagaimana pernah ditanyakan kepada Syaikh Salim al-Hilaly dan Syaikh Muhammad Musa Nashr tentang hal ini (i.e. perpecahan di tubuh salafiyah), maka mereka berdua –hafidhahumallahu- telah memberikan jawaban yang indah dan memuaskan.

Syaikh Salim –hafidhahullahu- berkata : “Sebenarnya terdapat sekelompok orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, yang berupaya untuk memecah-belah para ulama salaf dengan menyebarkan berita-berita bohong, dan mengarang kejadian-kejadian fiktif yang sebenarnya tidak ada, membesar-besarkan kesalahan, sibuk dengan qila wa qola dan mengadu domba. Wajib bagi para da'i dan ulama salaf agar waspada terhadap kelompok-kelompok pembuat makar dan keji ini, yang mengingatkan aku tentang pemikiran yang dibawa Al-Haddadi sejak sepuluh tahun yang lalu yang menamakan kelompok mereka dengan As-Sunnah;(berkedok) memerangi ahli bid'ah dan sebagainya, ternyata mereka berupaya untuk mencela para ulama salaf yang terbaik. Mereka mencela Ibn Hajar, an-Nawawi bahkan hampir saja mereka mencela Syeikhul Islam dan Ibn al-Qayyim. Kini kelompok new-Haddadi ini muncul kembali dengan wajah baru, maka para ulama harus benar-benar waspada kepada kelompok yang zhalim terhadap diri mereka, zhalim terhadap para penyeru kepada dakwah salafiyyah”.

Syaikh Musa melanjutkan, “Namun ada orang-orang yang berusaha memecah belah barisan ulama, mengadu domba antara penuntut ilmu sebagaimana yang diterangkan Syeikh Salim dalam jawabannya tadi. Dari sini kami peringatkan kepada para du’at salafi untuk mewaspadai gerakan ini yang targetnya hanyalah kejelekan terhadap dakwah salaf yang telah tersebar di seantero dunia Islam bahkan diseluruh dunia, sebagaimana menyebarnya api jika disulut minyak”.

Jika kita cermati mereka, kaum ghulath mantan Laskar Jihad, pastilah akan mendapatkan perselisihan yang amat sangat keras di antara mereka. Kini mereka terpecah-pecah menjadi puing-puing yang antara satu dengan lainnya saling mencerca dan menghujat. Semuanya mengklaim di atas kebenaran dan yang menyelisihinya dikatakan di atas kebathilan. Tidak heran label Ahlul Ahwa’ disematkan oleh mereka bagi mantan panglima yang mereka junjung tinggu dahulu dan kini mereka tinggalkan. Dan sang panglima balik menyematkan kepada mantan pembebeknya dengan label Ahlul Fitnah wal Khianah. Muncul lagi istilah RMS (Riau-Makasar-Solo) sebagai pemberontak dakwah salafiyyah menurut kubu Lukman Ba’abduh cs., yakni Riau (Dzul Akmal cs.), Makasar (Dzulqornain cs.) dan Solo (Na’im cs.). Nas’alullaha salamah wal ‘aafiyah. Apakah ini yang dinamakan dengan dakwah salafiyyah yang mempersatukan ummat di atas manhaj al-Haq???

[8] Yang beliau maksudkan adalah Syaikh yang mulia DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly. Beliau tidak mentahdzir Syaikh Rabi’ dalam risalah ini, namun hanya sebatas nasehat. Syaikh juga punya sebuah nasihat khusus yang ditujukan kepada Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali –hafidhahullahu- yang dimuat di dalam www.al-manhaj.com. Namun yang pasti adalah, Syaikh tidak mentahdzir Syaikh Rabi’ bin Hadi, namun hanya menasehati beliau, sebagaimana nasehat seorang ayah kepada puteranya. Syaikh Rabi’ bin Hadi sendiri ketika ditanya tentang risalah Rifqon beliau menjawab bahwa risalah tersebut adalah nasehat secara umum baginya dan kaum muslimin lainnya. Syaikh Rabi’ adalah diantara murid beliau yang cerdas dan pintar, dan beliau menyelesaikan kuliahnya dengan nilai Cum Laude (mumtaz).

[9] Yang beliau maksudkan adalah Syaikh Ubaid al-Jabiry –hafidhahullahu- juga sebagai nasehat dan pengarahan.

[10] Yang beliau maksudkan adalah Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi -–hafidhahullahu- juga sebagai nasehat dan pengarahan.