Daftar Blog Saya

Selasa, 18 Januari 2011

studi kritis imunisasi dalam tinjauan syariat dan medis


Studi kritis imunisasi
 Dalam
 tinjauan Syariat  dan medis
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
 يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
 يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا . يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
أما بعد :

Tulisan ini adalah sebuah risalah fiqhiyyah an-nazilah (fiqh kontenporer) seputar imunisasi yang menjadi polemik besar di kalangan ahli ilmu yang sebenarnya bukan kemampuan kami untuk menguraikannya. Akan tetapi berawal dari permintaan salah satu ikhwan kepada kami di mana didaerahnya terjadi sikap “kolot” terhadap masalah khilafiyah khususnya dalam masalah ini maka kami mencoba dengan segala kekerdilan kami untuk menggoreskan tinta ini dengan sikap tathofful bil ulama’(bimbingan ulama’)

Karena pembahasan ini ada sangkut pautnya dengan kedokteran maka kami berusaha untuk mengumpulkan komentar-komentar ahli medis baik yang pro maupun kontra untuk memudahkan tashowwur (gambaran) riil yang ada, karena diantara kaidah fatwa adalah :
الحكم على الشئ فرع عن تصوره
 “ hukum sesuatu adalah cabang dari gambaran terhadap sesuatu tersebut”
Tulisan ini kami bagi menjadi beberapa bab
1.        Moqoddimah
2.      Definisi Imunisasi
3.       Macam-macam imunisasi
4.      Hukum asal imunisasi
5.      Praktek imunisasi modern
6.      Beberapa argumen/alasan bagi orang yang kontra dan anti dengan imunisasi
7.      Perantara menuju jawaban
8.      Tarjih dan analisa
9.      Fatwa para ulama tentang imunisasi
10.   Kesimpulan dan penutup
Yang perlu di sebutkan juga di sini bahwa masalah in adalah masalah fiqhiyyah ijtihadiyah yang tidak menjadikan sesat orang yang menyelisihinya[2], dan apa yang saya tulis ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik dari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas
Dan kami nasehatkan agar janganlah kita meresahkan masyarakat dengan membuat keraguan kepada mereka karena ini termasuk masalah-masalah umat apalagi telah keluar fatwa MUI tentangnya[3]
Dan kami memohon tulisan ini bermanfaat khususnya pada pribadi kami dan para pembaca yang budiman dan menjadi tambahan berat dalam mizan hari akhirat. Amiin
1.      Moqoddimah
Perkembangan zaman dengan segala realitas kehidupan yang ada di dalamnya telah memunculkan berbagai persoalan baru yang memerlukan respon keagamaan yang tepat dan argumentatif. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada sebelumnya. Sekarang membutuhkan fatwa khusus
Permasalahannya  tidaklah serumit ini jika seandainya permasalahan-permasalahan baru tersebut di pegang oleh ahli islam yang amanah. Hanya saja yang disayangkan kebanyakan bahkan hampir seluruh permasaahan baru tersebut di pegang oleh orang-orang kafir atau orang-orang zindiq yang tidak perduli lagi tentang halal & harom –kita mengadu kepada alloh atas segala kehinaan dan kekalahan kaum muslimin dalam segala bidangnya-
Oleh karena itu seringkali muncul permasalahan dan pertanyaan di kalangan kaum muslimin di berbagai tempat yang tentunya membutuhkan jawaban yang benar sesuai dengan hukum islam itu sendiri
Di antara permasalahan itu yang menjadi polemik dan kontroversi adalah masalah yang akan kita bahas ini yaitu imunisasi yang di informasikan mengandung unsur-unsur harom seperti adanya enzim babi untuk pembuatan imunisasi polio, padahal di waktu yang sama pemberian imunisasi di zaman kita ini sangat di perlukan. Hal itu di sebabkan konsumsi-konsumsi manusia saat ini yang hampir tidak lepas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya  sehingga muncullah penyakit-penyakit yang tidak ada pada sebelumnya. Maka di buatlah imunisasi yang merupakan tindakan preventif untuk mencegah datangnya penyakit-penyakit berbahaya tersebut.
2.     Definisi Imunisasi
Di sebutkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke tiga halaman : 428, lafadznya :
Imun a Dok kebal thd suatu penyakit: kalau sudah di suntik TCD, orang akan—thd penyakit tipus, kolera , dan disentri;
Pengimunan n proses, cara, perbuatan menjadikan kebal thd penyakit;
Keimunan n keadaan imun; keadaan kebal thd penyakit
Imunisasi n Doc pengimunan; pengebalan (thd penyakit): pemerintah memberikan suntikan TCD kepada murid SD dl rangka—thd penyakit tipus, kolera, dan disentri
Imunitas n 1 keimunan; kekebalan; 2 Tan keadaan tumbuhan inang yg bebas dr serangan dan kerusakan yg di sebabkan oleh penyakit (parasit)”
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa bahwa imunisasi adalah tindakan pengebalan tubuh dari berbagai penyakit
3.     Macam-macam imunisasi
Secara garis besarnya imunisasi terbagi menjadi dua :
A. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah kekebalan tubuh yang didapat seseorang karena tubuh yang secara aktif membentuk zat anti bodi.
1. Imunisasi aktif alamiah
Adalah kekebalan tubuh yang secara otomatis diperoleh setelah sembuh dari suatu penyakit.
2. Imunisasi aktif buatan
Adalah kekebalan tubuh yang didapat dari vaksinasi yang diberikan untuk mendapatkan perlindungan dari suatu penyakit
B. Imunisasi Pasif
Imunisasi Pasif adalah kekebalan tubuh yang bisa diperoleh seseorang yang zat kekebalan tubuhnya didapatkan dari luar.
1. Imunisasi pasif alamiah
Adalah antibody yang didapat seseorang karena diturunkan oleh ibu yang merupakan orang tua kandung langsung ketika berada dalam kandungan.
2. Imunisasi pasif buatan
Adalah kekebalan tubuh yang diperoleh karena suntikan serum untuk mencegah penyakit tertentu. (http://colostrum.naikdaun.com/2010/07/jenis-dan-macammacam-imunisasi-kekebalan-tubuh-anti-bodi-ilmu-sains-biologi/)
Namun yang menjadi sorotan kita kali ini adalah macam imunisasi yang di peroleh dengan vaksinasi (Imunisasi aktif buatan), dan kalangan ahli gizi & anak menyebutkan imunisasi yang vital, yaitu :
1. BCG
- Perlindungan Penyakit : TBC / Tuberkolosis
- Penyebab : Bakteri Bacillus Calmette Guerrin
- Kandungan : Bacillus Calmette-Guerrin yang dilemahkan
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 2 bulan
2. DPT/DT
- Perlindungan Penyakit : Difteri (infeksi tenggorokan), Pertusis (batuk rejan) dan Tetanus (kaku rahang).
- Penyebab : Bakteri difteri, pertusis dan tetanus
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 3 bulan
II. Umur / usia 4 bulan
III. Umur / usia 5 bulan
IV. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
V. Umur / usia 5 tahun
VI. Umur / usia 10 tahun
3. Polio
- Perlindungan Penyakit : Poliomielitis / Polio (lumpuh layuh) yang menyababkan nyeri otot, lumpuh dan kematian.
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 3 bulan
II. Umur / usia 4 bulan
III. Umur / usia 5 bulan
IV. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
V. Umur / usia 5 tahun
4. Campak / Measles
- Perlindungan Penyakit : Campak / Tampek
- Efek samping yang mungkin : Demam, ruam kulit, diare
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 9 bulan atau lebih
II. Umur / usia 5-7 tahun
5. Hepatitis B
- Perlindungan Penyakit : Infeksi Hati / Kanker Hati mematikan
- Waktu Pemberian :
I. Ketika baru lahir atau tidak lama setelahnya
II. Tergantung situasi dan kondisi I
III. Tergantung situasi dan kondisi II
IV. Tergantung situasi dan kondisi III
B. Jenis / Macam Imunisasi Vaksin Yang Dianjurkan Pada Anak :
1. MMR
- Perlindungan Penyakit : Campak, gondongan dan campak Jerman
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 1 tahun 3 bulan
II. Umur / usia 4-6 tahun
2. Hepatitis A
- Perlindungan Penyakit : Hepatitis A (Penyakit Hati)
- Penyebab : Virus hepatitis A
- Waktu Pemberian :
I. Tergantung situasi dan kondisi I
II. Tergantung situasi dan kondisi II
3. Typhoid & parathypoid
- Perlindungan Penyakit : Demam Typhoid
- Penyebab : Bakteri Salmonela thypi
- Waktu Pemberian :
I. Tergantung situasi dan kondisi
4. Varisella (Cacar Air)
- Perlindungan Penyakit : Cacar Air
- Penyebab : Virus varicella-zoster
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 10 s/d 12 tahun 1 kali dan di atas 13 tahun 2 kali dengan selang waktu 4 s/d 8 minggu. (http://organisasi.org/jenis-macam-vaksin-imunisasi-untuk-anak-informasi-imunisasi-lengkap-wajib-penangkal-penyakit)
4.     Hukum asal imunisasi
Setelah kita ketahui ma’na imunisasi secara umum, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum asal imunisasi adalah boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi . Rosululloh n Bersabda :
من تصبح كل يوم سبع تمرات عجوة لم يضره في ذلك اليوم سم ولاسحر
Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Berkata Syaikh bin Baz : “tidak masalah untuk menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, artinya : “Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”. Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan pengebalan (imunisasi) untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya. (majmu’ fatawa wal maqolat syaikh ibnu Baz 6/26)
Berkata Ibnul Arobi as-Salafi al-Maliki : menurutku bila sorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir olehnya, maka boleh baginya membendungnya dengan obat.” (al-Qobas : 3/1129)
5.     Praktek imunisasi Modern
Sebagaimana yang telah kami sebutkan pada muqoddimah bahwa ini termasuk dampak dari di pegangnya ilmu kedokteran oleh-orang barat yang notabenenya orang-orang kafir yang bukan hanya jahil terhadap halal-harom akan tetapi bahkan memusuhi dan melecehkan islam itu sendiri, dan saya mendapati permasalahan ini sering di jadikan senjata untuk menggugat keabsahan hukum imunisasi
Permasalahan yang kami maksudkan adalah dalam imunisasi yang di kenal ahli medis saat ini ada dua masalah yang membuat kening berkerut, yang pertama pemberian vaksin kedalam tubuh, yang kedua bahan yang di gunakan dalam vaksinasi tersebut
a.      Vaksinasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), vaksin diartikan dengan bibit penyakit yang sudah di lemahkan, sedang vaksinasi adalah penanaman bibit penyakit yang sudah di lemahkan kedalam tubuh manusia atau binatang (dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum) agar orang atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. (KBBI edisi : 3 hal : 1258).
Oleh karena itu kaidah inti dari imunisasi adalah “ memasukkan bibit penyakit yang telah dilemahkan kepada manusia akan menghasilkan pelindung berupa anti bodi tertentu untuk menahan serangan penyakit yang lebih besar

b.      Bahan- bahan dalam pembuatan vaksin
telah tersebar beberapa informasi tentang bahan pembuatan vaksin terutama dalam dunia maya (internet) bahwa bahan-bahan tersebut kebanyakannya terbuat dari benda –benda yang harom. Berikut sedikit kami nukilkan diantaranya :
Berkata Rini Puspitasari selaku staff of KKIA Departement FULDFK 2009/2010
“Penggunaan janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang dirahasiakan publik. Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian tubuh seperti paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, kelenjar tiroid, timus, dan hepar yang diperoleh dari aborsi janin”. Lalu beliau melanjutkan
Disamping itu, vaksin dalam proses pembuatannya juga ada yang menggunakan enzim babi. Vaksin yang terbuat dari babi yaitu vaksin polio. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi” [4]
(lihat :http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=197538990489&topic=12546.) Demikianlah kami nukilkan tanpa ada sedikit perubahan, dan kita serahkan kepada Alloh atas kebenarannya

6.     Beberapa argument / alasan bagi orang yang kontra dan anti dengan imunisasi
Melihat penjelasan secara global hakekat imunisasi modern maka banyak timbul permasalahan hukumnya secara syariat dari beberapa kalangan baik dari ahli medis(notabenenya para herbalis) itu sendiri atau dari ahli keagamaan. Diantara mereka dengan menulis artikel atau buku untuk mengkampanyekan haramnya imunisasi dan yang paling ringan diantara mereka hanya bersikap menahan imunisasi tanpa adanya seruan status hukumnya. Di bawah ini saya sebutkan diantara argumen atas haramnya imuniasi di beberapa diskusi kami di ma’had kami dengan beberapa ikhwan dan sebagian asatidz juga dari beberapa artikel mereka yang saya ambil dari internet[5]
a.      Imunisasi terbuat dari bahan-bahan yang harom
b.      Sistem vaksin membahayakan
c.       Banyak kesaksian atas gagalnya imunisasi
d.      Imunisasi adalah program KB terselubung yang bertujuan untuk memandulkan anak
e.      Imunisasi bukanlah suatu yang dhorurot sehingga tidak bisa melegalkan yang harom
f.        Imunisasi tidak penting bagi anak
Demikian sebagian alasan dan hujjah bagi orang-orang ayang meniadakan imunisasi. Lalu bagaimanakah sebenarnya hakekat imunisasi tersebut? Sejauh mana bahaya imunisasi dan manfaatnya? Dan bagaimanakah sikap seorang muslim menghadapi problematik seperti ini

7.     Perantara menuju jawaban
Sebelum kita masuk permasalahan inti sekaligus jawaban dari hukum imunisasi ada beberapa permasalahan yang harus kita pahami terlebih dahulu
1.        Hukum berobat dengan hal yang di haromkan
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.      Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan hadits Thoriq bin Suwaid a, sesungguhnya ia bertanya kepada Rosululloh tentang khomr, maka Rosululloh n melarang untuk membuatnya, lalu ia berkata lagi : sesungguhnya aku membuatnya hanya untuk di jadikan obat, maka Rosululloh bersabda :

إنه ليس بدواء ولكنه داء
“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)
Berkata Imam an-Nawawi dalam syarah shohih muslim (13/153) : “Hadist ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat
Berkata Syaikh Abu Malik dalam shohih fiqh sunnah (2/391) : “maka masuk akalkah ada dokter muslim yang m
engetahui syariat islam mensifati khomr sebagai obat, padahal rosululloh mensifatinya sebagai penyakit”
b.      Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pendapat yang Pertama : Boleh dalam kondisi darurat.
 Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm. (lihat pemaparan khilaf dalam majmu’ syarh muhadzab, karya imam an-nawawi : 9/50).
Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ (١١٩)
Artinya : “mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit (HR muslim 15/(2076, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya (Shohih Fihq Sunnah 2/203).
Kedua: Tidak boleh secara mutlak.
 Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah (lihat al-Mughni karya ibnu Qudamah 8/605).
Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :
إن الله أنزل الداء والدواء، وجعل لكل داء دواء، فتداووا ولا تداووا بحرام

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (HR. Abu Dawud 3874
, & di shohihkan syaikh al-albani dalam asshohihah 4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. (lihat penjelasan lengkap masalah ini dalam kitab
Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki hal : 187)
2.      Memahami ma’na dhorurot
Berkata syaikh Muhammmad bin Husain al-Jaizani : Yang di makud dhorurat (darurat) menurut ahli fiqh & ushul adalah kebutuhan mendesak untuk menerjang syariat, terkandung daam definisi ini dua poin penting, yaitu :
1. Dhorurot adalah kebutuhan mendesak yang tidak ada jalan keluarnya
2. Dhorurot adalah udzur yang dianggap oleh syariat & salah satu sebab keringanan yang benar, yang mengharuskan menyelisihi hukum syar’i (Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah, hal : 8)
Jadi hakekat dhorurot adalah ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
الضرورة تبيح المحظورة
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Akan tetapi dhorurot ini memiliki syarat & dhowabit (kaidah), yaitu ada 4 :
1. Tegaknya kemadhorotan baik yakin atau persangkaa
n kuat
2. Adanya udzur (yaitu tidak bisa sama sekali dengan sarana yang halal)
3. Menggunakan sebatas dhorurot tersebut
4. Pandangan ke depan, di mana tidak ada bahaya yang mengancamnya
(Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah hal : 14)
Berkata al-Izzu bin Abdussalam : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”[Qowa’idu Ahkam hal : 141]
3.      Masalah Istihalah
Istihalah  adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, babi menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya (Hasyiah ibnu Abidin : 1/210)
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama.
1.  Pendapat yang pertama, Istihalah dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat hanafiyah, dhohiriyah, salah satu pendapat malikiyyah dan hanabilah, Syaikhul Islam, Ibnul qoyyim, Assyaukani dan lain-lain  
2.  Pendapat yang kedua, Istihalah tidak dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat syafi’iyyah, hanabilah, sebagian madzhab malikiyyah & di ikuti abu yusuf (muri
d abu Hanifiyyah)
di antara Hujjah mereka adalah : bahwasana benda najis tidak akan bisa suci dengan cara apapun seperti darah menjadi nanah juga di kuatkan bahwa benda najis yang proses istihalahnya dengan di bakar maka ia bagian dari najis tersebut & di ikutkan kenajisannya sebagai
sikap kehati-hatian (Wallohu a’lam sebatas pencarian kami dalil mereka hanya sebatas nadhori (logika), berkata syaikhul islam : tidak ada mereka baik al-quran, sunnah, ijma’ maupun qiyas)
hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci (al-Muhalla 1/117 – 7/433)
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi :
إذا دبغ الإهاب فقد طهور
 “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini di bela mati-matian oleh syaikhul islam (majmu’ fatawa & lihat argumentasi beliau secara naql & aql dalam kitab tersebut 21/481-504)
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya. (I’lamul Muwwaqq’in 1/394)
4.      Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan sabda Rosululloh :
الماء طهور لا ينجسه شئ

“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (HR. Ahmad 3/31, Abu Dawud 66, Tirmidzi 1/95 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 1/45)
dan sabda beliau :
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث
 “Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”
(
HR. Abu dawud 56 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[Majmu’ Fatawa : 21/508]
Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”[al-Fatawa al—Kubro 1/423]

8.     Tarjih & analisa
Dari keterangan di atas kita katakan pada masalah imunisasi :
1.        Anggapan imunisasi tidak penting bagi anak bahkan banyak kejadian gagal, dan sistem vaksinasi yang sangat BERBAHAYA.
Untuk menjawab anggapan ini kami nukilkan keterangan Dr. Arief [6]yang kami anggap tsiqoh (terpercaya) dalam masalam ini, beliau berkata dalam situsnya www.drarief.com, setelah memaparkan anggapan-anggapan negatif seputar imunisasi : ” Isu-isu di atas adalah TIDAK BENAR. Saat ini informasi bisa kita dapatkan dengan mudah dengan cara apapun. Kita bisa mengetahui dari belahan dunia manapun dengan mudah dan cepat. Kita bisa menyaksikan bagaimana dunia berlomba-lomba meningkatkan kecanggihan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak, dengan mengurangi efek samping hingga seminimal mungkin. Sekarang kita juga bisa membuktikan bahwa para ahli di seluruh dunia sepakat bahwa imunisasi adalah penting.
Bagi beberapa orang yang termakan isu-isu di atas, silakan Anda cari informasi terkini yang berkenaan dengan imunisasi tersebut. Insya Allah Anda akan menemukan 100% informasi – yang ilmiah tentunya, bukan sekedar asal ngomong belaka – yang akan mendukung dan menguatkan dasar pentingnya dilakukan imunisasi.
“Toh anak saya juga sehat nggak pakai imunisasi…” nah lho? Memang benar ada kemungkinan anak Anda tetap sehat tanpa imunisasi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh dr. Adi di atas tadi, imunisasi bertujuan untuk memproteksi bukan 100%, terhadap penyakit. Ini artinya, bila sang anak yang sehat tanpa imunisasi tadi tidak tertular oleh penyakit yang dia tidak memiliki daya tahan terhadapnya maka kita sebut saja dia “beruntung”. Contohnya penyakit tuberculosis (TBC) yang dinyatakan secara statistik (dihitung orang per orang di setiap negara) bahwa Indonesia salah satu yang menduduki peringkat tertinggi di dunia. Apakah Anda tega membiarkan sang anak tanpa perlindungan dan hanya berbekal “semoga beruntung” saja?
Anak yang sudah diimunisasi dengan baik masih mungkin tertular penyakit tersebut. Namun, dibandingkan dengan yang tidak diimunisasi, tingkat sakitnya akan jauh berbeda.
Sebagai permisalan, pada saat turun hujan; anak yang diimunisasi adalah ibarat anak yang memakai jas hujan dan yang tidak diimunisasi adalah ibarat anak yang tidak memakai jas hujan. Apakah mungkin yang memakai jas hujan masih basah ? Mungkin saja! Tapi coba bandingkan dengan yang tidak pakai jas hujan. Tentu derajat “basahnya” tidak akan sama…
Nah khusus untuk poin isu ke-2 (sistem vaksinasi) di atas yang – mungkin – diyakini kebenarannya oleh beberapa orang, saya punya penjelasan sedikit ..Imunisasi memang benar berarti memasukkan penyakit ke dalam tubuh anak….. tapi tunggu dulu, bukan sembarang penyakit yang dimasukkan ke dalam tubuh sang anak tersayang.Vaksin penyakit yang dimasukkan kedalam tubuh anak pada imunisasi khusus untuk penyakit-penyakit yang terpilih yang berpotensi menimbulkan akibat yang fatal atau cacat yang permanen pada masa depannya. Vaksin tersebut adalah penyakit yang telah dilemahkan di laboratorium dan telah teruji secara klinis, sehingga yang didapatkan oleh sang anak adalah kekebalan terhadap penyakit tersebut dalam wujud sebenarnya – yang tidak dilemahkan.
Tubuh manusia memiliki suatu mekanisme untuk belajar mengatasi rangsangan dari luar. Ini adalah suatu karunia yang sangat besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Rangsangan ini bisa berwujud perubahan cuaca dari panas ke dingin (atau sebaliknya), kontak dengan bakteri dan virus yang ada di udara bebas, kontak dengan alergen; atau singkatnya : kontak dengan dunia luar. Anak yang sehat memiliki kemampuan untuk mempelajari dan membuat kesimpulan tentang apa yang dipelajarinya. Ini juga terjadi pada sistem imun (kekebalan) tubuhnya. Proses belajar pada kekebalan tubuhnya akan langsung terjadi sesaat setelah seseorang bersinggungan dengan penyakit (misalnya dari orang lain). Kekebalan akan didapatkan sebagai hasil akhir / kesimpulan dari proses belajar tersebut – dengan catatan – bila status gizi pada tubuhnya baik. Mungkin ia akan mengalami sakit dahulu, namun tubuhnya akan terus mempelajari dan membuat kesimpulan terhadap penyakit tersebut.
Kekebalan dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Bedanya, yang satu didapatkan setelah seseorang sembuh dari suatu penyakit, dan yang lainnya didapatkan melalui vaksin penyakit tersebut.
Sebagai contoh : Seseorang bernama A terkena penyakit – sebut saja – penyakit “X”. Setelah sembuh, si A tadi akan memiliki kekebalan terhadap penyakit “X” tersebut. Pada kasus lain, seseorang lainnya bernama B mendapatkan vaksinasi penyakit “X”, dan dia mendapatkan kekebalan terhadap penyakit “X” tersebut. Menurut Anda, mana yang lebih bagus ? si A atau si B ? Anda menjawab “Tentu saja si A !”. Benarkah ?…..
Mungkin jawaban di atas benar, bila penyakit “X” yang dimaksud adalah penyakit yang sederhana, seperti flu biasa. Yang jadi masalah adalah : bagaimana bila penyakit “X” yang dimaksud adalah suatu penyakit yang fatal dan berpotensi untuk meninggalkan kecacatan??? Misalnya penyakit “X” tersebut adalah Polio, si A yang mendapat kekebalan setelah sembuh dari sakitnya belum tentu bisa berjalan dengan baik, bahkan mungkin ia tidak dapat berjalan lagi; sementara si B – yang mendapatkan vaksinasi polio – juga mendapatkan kekebalan terhadap penyakitnya, tetapi tanpa harus mengalami sakit terlebih dahulu…. Apa artinya seseorang memperoleh kekebalan setelah sembuh dari sakitnya, tapi ia kini juga memperoleh kecacatan (buta, lumpuh, dll) ? Tentu tidak banyak artinya. Apalagi pada konteks anak, masa depannya masih sangat-sangat-amat panjang sekali( http://www.drarief.com/fatwa-ulama-tentang-imunisasi/) –di nukil dengan sedikit  perubahan-
2.      Bahan-bahan imunisasi yang haram.
Pertama kami : katakan bahwa memang dari imunisasi ada bahan-bahan yang harom semisal enzim babi dll ( bedasarkan banyaknya keterangan ahli medis) namun ada yang menurut saya berlebih-lebihan ketika menyebutkan bahan-bahan vaksin yang menyeramkan & menjijikkan (seperti : sel kanker manusia, bayi kuda, ekstrak mentah lambung babi, nanah dll) dan efek samping, seperti yang mereka sebutkan “VAKSINASI SEBAB TERBESAR MATI MENDADAK’, “IMUNISASI = IQ RENDAH” DLL yang kebanyakan hanya menukil tanpa menyebukan buku referensi kedokteran yang autentik, oleh karena itu dr. Arief mengatakan ketika di tanya masalah tersebut dalam situsnya tersebut “Saya mengutip ucapan beberapa ustadz terkait hal ini, kejelasan kandungan yang berasal dari bahan yang haram juga tidak ditunjang dengan data yang pasti. Referensi syariah saya dalam hal ini adalah ustadz Abu Zubair Hawaary, dan ustadz Sufyan Baswedan, keduanya adalah alumni Madinah, insya Allah bisa dipegang fatwanya”.
Yang kedua : kalau memang kenyataannya seperti itu maka kami katakan : bukankah kita telah bahas pada bab yang lalu tentang masalah istihalah bahwa yang rojih adalah bisa mensucikan, dan proses pembuatan imunisasi sebagaimana keterangan-keterangan ahli medis (terutam anggota LPPOM)[7] 100% sudah bersih dari bahan-bahan harom tersebut[8]. Berikut kami nukilkan mereka dalam masalah vaksin meningitis
Berkata  Dr H Achmad Sanusi, SpPD, ketua MPKS dalam acara press briefing tentang persiapan WHA dan vaksin meningitis di gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat (14/5/2010) : "Kami mengkaji sistem ilmiahnya tentang bagaimana proses dari awal hingga didapatkan produk akhir, untuk vaksin meningitis ini yang diambil hanya polisakarida”. Beliau juga mengatakan “Bahan yang digunakan untuk membuat vaksin adalah polisakarida. Berdasarkan kajian yang kami lakukan, didapati bahwa hasil akhir yang berupa polisakarida tersebut tidak mengandung apa-apa”.

Juga apa yang di ungkapkan salah satu anggota LPPOM."Memang benar dalam proses produksinya vaksin meningitis bersentuhan dengan babi.  Tapi vaksinnya sudah tidak mengandung babi lagi karena dilakukan proses ultrafiltrasi."  (http://www.detikhealth.com/read/2010/05/14/134221/1356995/763/bahan-akhir-vaksin-meningitis-bebas-kandungan-babi?ld991107763)

3.         Manfaat dan bahaya imunisasi
Sebenarnya poin ini sudah di jelaskan di depan dari keterangan dr. Arief, namun perlu kami tambahkan bahwa manfaat imunisasi itu suatu yang tidak samar karena itu adalah tujuan dari di buatnya imunisasi adapun efek samping darinya maka seharusnya kita beri arahan dan motivasi kepada para dokter untuk meningkatkan kwalitas dan meminimalkan efek sampingnya, bukan malah membuat putus asa mereka dengan langsung vonis yang buruk. Dan sesungguhnya kejadian atas gagalnya imunisasi terhadap beberapa orang tidaklah mengubah status hukumnya, itu seperti beberapa obat atau tindakan medis (seperti operasi, kemoterapi dll) yang pernah mengalami kegagalan. Lantas apakah kita mengatakan tindakan-tindakan medis tersebut haram semuanya?!

9.      Fatwa para ulama’ tentang imunisasi.
Sebagai pelengkap pembahasan ini kami nukilkan fatwa para ulama’
1.      Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :
1) Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apalagi terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2) Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.[ Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.]

      2.   Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.[ Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
]

         10.     kesimpulan dan penutup                                
Setelah keterangan di atas, maka kami memandang bolehnya imunisasi dengan kriteria-kriteria di atas atau yang semisalnya, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya jenis imunisasi yang di sepakati bahayanya yang memunculkan hukum baru
Kami menyimpulkan juga dari beberapa diskusi ilmiyyah yang menjadi titik dasar perselisihan adalah ADA BAHAN HARAMNYA dan telah berlalu penjelasannya pada bab istihalah bahwa yag rojih adalah bisa mensucikan demikian juga masalah istihlak, oleh karena itu ketika MUI memfatwakan bolehnya imunisasi jenis IPV adalah karena alasan darurat, karena memang pendapat MUI dalam hal ini adalah syafi’iyyah yang meniadakan pengaruh istihalah ataupun istihlak[9]
Adapun manfaat dan madhorot yang di timbulkannya kami memandang seperti umumnya obat-obat kimia yang memilikiki beberapa efek samping akan tetapi dengan adanya rekomendasi para dokter –insyaalloh- manfaatnya lebih besar dari pada bahayanya
Kemudian kita juga katakan bahwa asal imunisasi adalah boleh sedangkan bahaya yang di hasilkannya minimalnya masih tanda tanya dalam artian meragukan. Dan dalam kaidah fiqhiyyah di katakan :
اليقين لا يزول بالشك
“Suatu yang yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang meragukan”
Meskipun walohu a’lam kecenderungan hati kami bahwa imunisasi bukanlah suatu yang darurat karena kami tidak dapati pengaruh imunisasi seperti definisi darurat yang di terangkan ulama’ lebih-lebih kalau kita mau menerapkan “back to nature” kembali kepada yang alami & juga memakai tibbun nabawi yang telah teruji secara medis memiliki kandungan imun yang sangat besar[10]
Dan tulisan ini juga bukan ajakan wajib imunisasi. Akan tetapi seperti inilah tindakan obyektif dalam hukum islam, adapun setiap pribadi maka silahkan memakainya jika di pandang imunisasi  sangatlah urgen dan bagi yang lebih percaya pada thibbun nabawi silahkan meninggalkannya dan berusaha kembali ke hidup sehat ala rosul, akan tetapi kami ingatkan agar selalu menyandarkan semuanya kepada Allah dan kita tidak boleh sombong dengan sebab yang kita upayakan dalam menjaga kesehatan anak-anak kita -baik dengan cara imunisasi ataupun thibbun nabawi-
Bagi yang mengimunisasi, kemudian anaknya terkena penyakit yang dikhawatirkan, maka ia tidak akan menyalahkan vaksin itu sendiri, “Kenapa kok masih sakit padahal sudah di imunisasi” Karena memang sudah dijelaskan bahwa vaksin tidak memastikan bebas dari penyakit tersebut dan kita berusaha bersabar menerima takdir yang Allah tetapkan.
Begitupun kepada yang tidak mengimunisasi anaknya dan memilih thibbun nabawi, maka ketika anaknya terkena penyakit yang dikhawatirkan, maka tidak boleh menyalahkan thibbun nabawi tersebut sehingga mengurangi rasa cintanya pada thibbun nabawi dan kemudian menyalahkan diri dan menyesali, “kalau seandainya dulu pake vaksin”.
Karena kembali lagi, semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah dan kita berusaha bersabar dan menerimanya.
Dan untuk kedua belah pihak, kalau seandainya anak saudaranya terkena penyakit yang dikhawatirkan, jangan bersikap sombong terhadap saudaranya, “Makanya, harusnya dulu diimunisasi.” atau ternyata yang terkena adalah anak yang diimunisasi, maka yang tidak mengimunisasi juga jangan sombong, sehingga kemudian masing-masing pihak lupa berdoa kepada Allah bahwa semua itu -kesehatan dan musibah yg tidak terkena padanya- adalah semata-mata keutamaan dari Allah dan hendaklah kita selalu memanjatkan doa kepada Alloh
الحمد لله اللذي فضلني على كثير من الناس
Segala puji bagi Allah yg telah memberi keutamaan kepadaku atas banyak orang.”
Dan akhirnya ini yang bisa kami uraikan seputar imunisasi sejauh tashowwur kami dari beberapa referensi karena keterbatasan referensi kami, dan kami sangat mengharapkan masukan dari saudara semua baik dari pemuka agama atau dari kalangan ahli medis. Dan apa yang ada dalam tulisan ini jika ada benarnya maka semata-mata dari Alloh dan jika ada kesalahan maka itu dari kami dan syaithon dan alloh dan rosulnya berlepas diri darinya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى اله وصحبه وسلم. واخر دعوانا ان الحمد لله رب العالمين






[1] Tulisan ini banyak mengambil faidah dari tulisan ustadzuna Abu Ubaidah dalam majalah al-furqon edisi 5 tahun 8 pada rubrik fiqh nawazil dengan judul “kontroversi hukum imunisasi polio” dan kitab “ahkamul adwiyah fis-Syariatil Islamiyah” karya Dr. Hasan bin Ahmad al-Fakki
[2] Sebagaimana pemaparan Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal Buhuts. Akan datang keterangannya pada bab 9.  fatwa para ulama tentang imunisasi
[3] Lihat himbauan ini dalam artikel kontroversi hukum imunisasi polio yang di tulis ustadzuna Abu Ubaidah
[4] Dan banyak lagi sebenarnya klaim-klaim mereka atas bahan imunisasi yang tersebar di dunia maya, diantaranya ginjal monyet dan anjing, embrio anak ayam, darah babi atau kuda dan nanah cacar sapi dan lain-lain yang mungkin lebih mengerikan lagi. Wallohu a’lam
[5] Di antara yang sangat keras menolak imunisasi adalah apa yang d sebutkan dalam majalah nikah volume 6 no.2 mei 2007 dengan membawakan hujjah-hujjah, diantaranya system vaksin yang menipu & beberapa data atas kegagalan imunisasi. Wallohu a’lam
[6] Beliau adalah dokter umun yang berdomisili di kota solo & banyak mengenal ustadz-ustadz salaf (lihat dalam situsnya & coment yang di bawahnya www.drarief.com
[7] Adalah singkatan dari lembaga pengkajian obat dan kosmetika, suatu lembaga yang di bentuk oleh MUI dengan tugas mengaudit perusahaan yang menghendaki mendapat sertifikat halal dari MUI
[8] Syaikhuna Ust. Ahmad Sabiq sering menyampaikan kepada kami akan konsultasi beliau kepada beberapa dokter & mahasiswa kedokteran jurusan farmasi tersebut tentang proses pembuatan vaksin dan mereka mengatakan bahwa proses akhir pembuatan vaksin bebas dari bahan harom
[9] Hal ini sama seperti masalah yang sempat geger yaitu masalah produk pelezat ajinomoto yang di informasikan ada kandungan lemak babinya. Kalau kita memahami masalah istihlal maka tidaka ada masalah lagi. Wallohu a’lam (faidah dari syaikhuna Ahmad Sabiq. Lc)
[10] Al-ustadz DR. Arifin Badri MA memiliki buku yang sangat bagus tentang masalah tersebut dengan judul “Imunisasi syariat” sekaligus sebagai bahan resensi kitab di majalah kami al-furqon edisi depan insyaalloh.