Daftar Blog Saya

Selasa, 18 Januari 2011

studi kritis imunisasi dalam tinjauan syariat dan medis


Studi kritis imunisasi
 Dalam
 tinjauan Syariat  dan medis
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
 يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
 يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا . يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما
أما بعد :

Tulisan ini adalah sebuah risalah fiqhiyyah an-nazilah (fiqh kontenporer) seputar imunisasi yang menjadi polemik besar di kalangan ahli ilmu yang sebenarnya bukan kemampuan kami untuk menguraikannya. Akan tetapi berawal dari permintaan salah satu ikhwan kepada kami di mana didaerahnya terjadi sikap “kolot” terhadap masalah khilafiyah khususnya dalam masalah ini maka kami mencoba dengan segala kekerdilan kami untuk menggoreskan tinta ini dengan sikap tathofful bil ulama’(bimbingan ulama’)

Karena pembahasan ini ada sangkut pautnya dengan kedokteran maka kami berusaha untuk mengumpulkan komentar-komentar ahli medis baik yang pro maupun kontra untuk memudahkan tashowwur (gambaran) riil yang ada, karena diantara kaidah fatwa adalah :
الحكم على الشئ فرع عن تصوره
 “ hukum sesuatu adalah cabang dari gambaran terhadap sesuatu tersebut”
Tulisan ini kami bagi menjadi beberapa bab
1.        Moqoddimah
2.      Definisi Imunisasi
3.       Macam-macam imunisasi
4.      Hukum asal imunisasi
5.      Praktek imunisasi modern
6.      Beberapa argumen/alasan bagi orang yang kontra dan anti dengan imunisasi
7.      Perantara menuju jawaban
8.      Tarjih dan analisa
9.      Fatwa para ulama tentang imunisasi
10.   Kesimpulan dan penutup
Yang perlu di sebutkan juga di sini bahwa masalah in adalah masalah fiqhiyyah ijtihadiyah yang tidak menjadikan sesat orang yang menyelisihinya[2], dan apa yang saya tulis ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik dari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas
Dan kami nasehatkan agar janganlah kita meresahkan masyarakat dengan membuat keraguan kepada mereka karena ini termasuk masalah-masalah umat apalagi telah keluar fatwa MUI tentangnya[3]
Dan kami memohon tulisan ini bermanfaat khususnya pada pribadi kami dan para pembaca yang budiman dan menjadi tambahan berat dalam mizan hari akhirat. Amiin
1.      Moqoddimah
Perkembangan zaman dengan segala realitas kehidupan yang ada di dalamnya telah memunculkan berbagai persoalan baru yang memerlukan respon keagamaan yang tepat dan argumentatif. Banyak masalah-masalah baru yang tidak ada sebelumnya. Sekarang membutuhkan fatwa khusus
Permasalahannya  tidaklah serumit ini jika seandainya permasalahan-permasalahan baru tersebut di pegang oleh ahli islam yang amanah. Hanya saja yang disayangkan kebanyakan bahkan hampir seluruh permasaahan baru tersebut di pegang oleh orang-orang kafir atau orang-orang zindiq yang tidak perduli lagi tentang halal & harom –kita mengadu kepada alloh atas segala kehinaan dan kekalahan kaum muslimin dalam segala bidangnya-
Oleh karena itu seringkali muncul permasalahan dan pertanyaan di kalangan kaum muslimin di berbagai tempat yang tentunya membutuhkan jawaban yang benar sesuai dengan hukum islam itu sendiri
Di antara permasalahan itu yang menjadi polemik dan kontroversi adalah masalah yang akan kita bahas ini yaitu imunisasi yang di informasikan mengandung unsur-unsur harom seperti adanya enzim babi untuk pembuatan imunisasi polio, padahal di waktu yang sama pemberian imunisasi di zaman kita ini sangat di perlukan. Hal itu di sebabkan konsumsi-konsumsi manusia saat ini yang hampir tidak lepas dari bahan-bahan kimia yang berbahaya  sehingga muncullah penyakit-penyakit yang tidak ada pada sebelumnya. Maka di buatlah imunisasi yang merupakan tindakan preventif untuk mencegah datangnya penyakit-penyakit berbahaya tersebut.
2.     Definisi Imunisasi
Di sebutkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke tiga halaman : 428, lafadznya :
Imun a Dok kebal thd suatu penyakit: kalau sudah di suntik TCD, orang akan—thd penyakit tipus, kolera , dan disentri;
Pengimunan n proses, cara, perbuatan menjadikan kebal thd penyakit;
Keimunan n keadaan imun; keadaan kebal thd penyakit
Imunisasi n Doc pengimunan; pengebalan (thd penyakit): pemerintah memberikan suntikan TCD kepada murid SD dl rangka—thd penyakit tipus, kolera, dan disentri
Imunitas n 1 keimunan; kekebalan; 2 Tan keadaan tumbuhan inang yg bebas dr serangan dan kerusakan yg di sebabkan oleh penyakit (parasit)”
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa bahwa imunisasi adalah tindakan pengebalan tubuh dari berbagai penyakit
3.     Macam-macam imunisasi
Secara garis besarnya imunisasi terbagi menjadi dua :
A. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif adalah kekebalan tubuh yang didapat seseorang karena tubuh yang secara aktif membentuk zat anti bodi.
1. Imunisasi aktif alamiah
Adalah kekebalan tubuh yang secara otomatis diperoleh setelah sembuh dari suatu penyakit.
2. Imunisasi aktif buatan
Adalah kekebalan tubuh yang didapat dari vaksinasi yang diberikan untuk mendapatkan perlindungan dari suatu penyakit
B. Imunisasi Pasif
Imunisasi Pasif adalah kekebalan tubuh yang bisa diperoleh seseorang yang zat kekebalan tubuhnya didapatkan dari luar.
1. Imunisasi pasif alamiah
Adalah antibody yang didapat seseorang karena diturunkan oleh ibu yang merupakan orang tua kandung langsung ketika berada dalam kandungan.
2. Imunisasi pasif buatan
Adalah kekebalan tubuh yang diperoleh karena suntikan serum untuk mencegah penyakit tertentu. (http://colostrum.naikdaun.com/2010/07/jenis-dan-macammacam-imunisasi-kekebalan-tubuh-anti-bodi-ilmu-sains-biologi/)
Namun yang menjadi sorotan kita kali ini adalah macam imunisasi yang di peroleh dengan vaksinasi (Imunisasi aktif buatan), dan kalangan ahli gizi & anak menyebutkan imunisasi yang vital, yaitu :
1. BCG
- Perlindungan Penyakit : TBC / Tuberkolosis
- Penyebab : Bakteri Bacillus Calmette Guerrin
- Kandungan : Bacillus Calmette-Guerrin yang dilemahkan
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 2 bulan
2. DPT/DT
- Perlindungan Penyakit : Difteri (infeksi tenggorokan), Pertusis (batuk rejan) dan Tetanus (kaku rahang).
- Penyebab : Bakteri difteri, pertusis dan tetanus
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 3 bulan
II. Umur / usia 4 bulan
III. Umur / usia 5 bulan
IV. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
V. Umur / usia 5 tahun
VI. Umur / usia 10 tahun
3. Polio
- Perlindungan Penyakit : Poliomielitis / Polio (lumpuh layuh) yang menyababkan nyeri otot, lumpuh dan kematian.
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 3 bulan
II. Umur / usia 4 bulan
III. Umur / usia 5 bulan
IV. Umur / usia 1 tahun 6 bulan
V. Umur / usia 5 tahun
4. Campak / Measles
- Perlindungan Penyakit : Campak / Tampek
- Efek samping yang mungkin : Demam, ruam kulit, diare
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 9 bulan atau lebih
II. Umur / usia 5-7 tahun
5. Hepatitis B
- Perlindungan Penyakit : Infeksi Hati / Kanker Hati mematikan
- Waktu Pemberian :
I. Ketika baru lahir atau tidak lama setelahnya
II. Tergantung situasi dan kondisi I
III. Tergantung situasi dan kondisi II
IV. Tergantung situasi dan kondisi III
B. Jenis / Macam Imunisasi Vaksin Yang Dianjurkan Pada Anak :
1. MMR
- Perlindungan Penyakit : Campak, gondongan dan campak Jerman
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 1 tahun 3 bulan
II. Umur / usia 4-6 tahun
2. Hepatitis A
- Perlindungan Penyakit : Hepatitis A (Penyakit Hati)
- Penyebab : Virus hepatitis A
- Waktu Pemberian :
I. Tergantung situasi dan kondisi I
II. Tergantung situasi dan kondisi II
3. Typhoid & parathypoid
- Perlindungan Penyakit : Demam Typhoid
- Penyebab : Bakteri Salmonela thypi
- Waktu Pemberian :
I. Tergantung situasi dan kondisi
4. Varisella (Cacar Air)
- Perlindungan Penyakit : Cacar Air
- Penyebab : Virus varicella-zoster
- Waktu Pemberian :
I. Umur / usia 10 s/d 12 tahun 1 kali dan di atas 13 tahun 2 kali dengan selang waktu 4 s/d 8 minggu. (http://organisasi.org/jenis-macam-vaksin-imunisasi-untuk-anak-informasi-imunisasi-lengkap-wajib-penangkal-penyakit)
4.     Hukum asal imunisasi
Setelah kita ketahui ma’na imunisasi secara umum, maka tidak diragukan lagi bahwa hukum asal imunisasi adalah boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi . Rosululloh n Bersabda :
من تصبح كل يوم سبع تمرات عجوة لم يضره في ذلك اليوم سم ولاسحر
Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Berkata Syaikh bin Baz : “tidak masalah untuk menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih, artinya : “Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”. Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan pengebalan (imunisasi) untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya. (majmu’ fatawa wal maqolat syaikh ibnu Baz 6/26)
Berkata Ibnul Arobi as-Salafi al-Maliki : menurutku bila sorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir olehnya, maka boleh baginya membendungnya dengan obat.” (al-Qobas : 3/1129)
5.     Praktek imunisasi Modern
Sebagaimana yang telah kami sebutkan pada muqoddimah bahwa ini termasuk dampak dari di pegangnya ilmu kedokteran oleh-orang barat yang notabenenya orang-orang kafir yang bukan hanya jahil terhadap halal-harom akan tetapi bahkan memusuhi dan melecehkan islam itu sendiri, dan saya mendapati permasalahan ini sering di jadikan senjata untuk menggugat keabsahan hukum imunisasi
Permasalahan yang kami maksudkan adalah dalam imunisasi yang di kenal ahli medis saat ini ada dua masalah yang membuat kening berkerut, yang pertama pemberian vaksin kedalam tubuh, yang kedua bahan yang di gunakan dalam vaksinasi tersebut
a.      Vaksinasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), vaksin diartikan dengan bibit penyakit yang sudah di lemahkan, sedang vaksinasi adalah penanaman bibit penyakit yang sudah di lemahkan kedalam tubuh manusia atau binatang (dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum) agar orang atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. (KBBI edisi : 3 hal : 1258).
Oleh karena itu kaidah inti dari imunisasi adalah “ memasukkan bibit penyakit yang telah dilemahkan kepada manusia akan menghasilkan pelindung berupa anti bodi tertentu untuk menahan serangan penyakit yang lebih besar

b.      Bahan- bahan dalam pembuatan vaksin
telah tersebar beberapa informasi tentang bahan pembuatan vaksin terutama dalam dunia maya (internet) bahwa bahan-bahan tersebut kebanyakannya terbuat dari benda –benda yang harom. Berikut sedikit kami nukilkan diantaranya :
Berkata Rini Puspitasari selaku staff of KKIA Departement FULDFK 2009/2010
“Penggunaan janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang dirahasiakan publik. Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian tubuh seperti paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, kelenjar tiroid, timus, dan hepar yang diperoleh dari aborsi janin”. Lalu beliau melanjutkan
Disamping itu, vaksin dalam proses pembuatannya juga ada yang menggunakan enzim babi. Vaksin yang terbuat dari babi yaitu vaksin polio. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi” [4]
(lihat :http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=197538990489&topic=12546.) Demikianlah kami nukilkan tanpa ada sedikit perubahan, dan kita serahkan kepada Alloh atas kebenarannya

6.     Beberapa argument / alasan bagi orang yang kontra dan anti dengan imunisasi
Melihat penjelasan secara global hakekat imunisasi modern maka banyak timbul permasalahan hukumnya secara syariat dari beberapa kalangan baik dari ahli medis(notabenenya para herbalis) itu sendiri atau dari ahli keagamaan. Diantara mereka dengan menulis artikel atau buku untuk mengkampanyekan haramnya imunisasi dan yang paling ringan diantara mereka hanya bersikap menahan imunisasi tanpa adanya seruan status hukumnya. Di bawah ini saya sebutkan diantara argumen atas haramnya imuniasi di beberapa diskusi kami di ma’had kami dengan beberapa ikhwan dan sebagian asatidz juga dari beberapa artikel mereka yang saya ambil dari internet[5]
a.      Imunisasi terbuat dari bahan-bahan yang harom
b.      Sistem vaksin membahayakan
c.       Banyak kesaksian atas gagalnya imunisasi
d.      Imunisasi adalah program KB terselubung yang bertujuan untuk memandulkan anak
e.      Imunisasi bukanlah suatu yang dhorurot sehingga tidak bisa melegalkan yang harom
f.        Imunisasi tidak penting bagi anak
Demikian sebagian alasan dan hujjah bagi orang-orang ayang meniadakan imunisasi. Lalu bagaimanakah sebenarnya hakekat imunisasi tersebut? Sejauh mana bahaya imunisasi dan manfaatnya? Dan bagaimanakah sikap seorang muslim menghadapi problematik seperti ini

7.     Perantara menuju jawaban
Sebelum kita masuk permasalahan inti sekaligus jawaban dari hukum imunisasi ada beberapa permasalahan yang harus kita pahami terlebih dahulu
1.        Hukum berobat dengan hal yang di haromkan
Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
a.      Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan hadits Thoriq bin Suwaid a, sesungguhnya ia bertanya kepada Rosululloh tentang khomr, maka Rosululloh n melarang untuk membuatnya, lalu ia berkata lagi : sesungguhnya aku membuatnya hanya untuk di jadikan obat, maka Rosululloh bersabda :

إنه ليس بدواء ولكنه داء
“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)
Berkata Imam an-Nawawi dalam syarah shohih muslim (13/153) : “Hadist ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat
Berkata Syaikh Abu Malik dalam shohih fiqh sunnah (2/391) : “maka masuk akalkah ada dokter muslim yang m
engetahui syariat islam mensifati khomr sebagai obat, padahal rosululloh mensifatinya sebagai penyakit”
b.      Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :
Pendapat yang Pertama : Boleh dalam kondisi darurat.
 Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm. (lihat pemaparan khilaf dalam majmu’ syarh muhadzab, karya imam an-nawawi : 9/50).
Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ (١١٩)
Artinya : “mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit (HR muslim 15/(2076, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya (Shohih Fihq Sunnah 2/203).
Kedua: Tidak boleh secara mutlak.
 Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah (lihat al-Mughni karya ibnu Qudamah 8/605).
Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :
إن الله أنزل الداء والدواء، وجعل لكل داء دواء، فتداووا ولا تداووا بحرام

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (HR. Abu Dawud 3874
, & di shohihkan syaikh al-albani dalam asshohihah 4/174)
Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.
Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. (lihat penjelasan lengkap masalah ini dalam kitab
Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki hal : 187)
2.      Memahami ma’na dhorurot
Berkata syaikh Muhammmad bin Husain al-Jaizani : Yang di makud dhorurat (darurat) menurut ahli fiqh & ushul adalah kebutuhan mendesak untuk menerjang syariat, terkandung daam definisi ini dua poin penting, yaitu :
1. Dhorurot adalah kebutuhan mendesak yang tidak ada jalan keluarnya
2. Dhorurot adalah udzur yang dianggap oleh syariat & salah satu sebab keringanan yang benar, yang mengharuskan menyelisihi hukum syar’i (Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah, hal : 8)
Jadi hakekat dhorurot adalah ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:
الضرورة تبيح المحظورة
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”
Akan tetapi dhorurot ini memiliki syarat & dhowabit (kaidah), yaitu ada 4 :
1. Tegaknya kemadhorotan baik yakin atau persangkaa
n kuat
2. Adanya udzur (yaitu tidak bisa sama sekali dengan sarana yang halal)
3. Menggunakan sebatas dhorurot tersebut
4. Pandangan ke depan, di mana tidak ada bahaya yang mengancamnya
(Haqiqoh dhoruroh syar’iyyah hal : 14)
Berkata al-Izzu bin Abdussalam : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”[Qowa’idu Ahkam hal : 141]
3.      Masalah Istihalah
Istihalah  adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, babi menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya (Hasyiah ibnu Abidin : 1/210)
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama.
1.  Pendapat yang pertama, Istihalah dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat hanafiyah, dhohiriyah, salah satu pendapat malikiyyah dan hanabilah, Syaikhul Islam, Ibnul qoyyim, Assyaukani dan lain-lain  
2.  Pendapat yang kedua, Istihalah tidak dapat mensucikan benda najis
ini adalah pendapat syafi’iyyah, hanabilah, sebagian madzhab malikiyyah & di ikuti abu yusuf (muri
d abu Hanifiyyah)
di antara Hujjah mereka adalah : bahwasana benda najis tidak akan bisa suci dengan cara apapun seperti darah menjadi nanah juga di kuatkan bahwa benda najis yang proses istihalahnya dengan di bakar maka ia bagian dari najis tersebut & di ikutkan kenajisannya sebagai
sikap kehati-hatian (Wallohu a’lam sebatas pencarian kami dalil mereka hanya sebatas nadhori (logika), berkata syaikhul islam : tidak ada mereka baik al-quran, sunnah, ijma’ maupun qiyas)
hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :
a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci (al-Muhalla 1/117 – 7/433)
b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi :
إذا دبغ الإهاب فقد طهور
 “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)
c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.
Pendapat ini di bela mati-matian oleh syaikhul islam (majmu’ fatawa & lihat argumentasi beliau secara naql & aql dalam kitab tersebut 21/481-504)
Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya. (I’lamul Muwwaqq’in 1/394)
4.      Masalah Istihlak
Maksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan sabda Rosululloh :
الماء طهور لا ينجسه شئ

“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (HR. Ahmad 3/31, Abu Dawud 66, Tirmidzi 1/95 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 1/45)
dan sabda beliau :
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث
 “Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”
(
HR. Abu dawud 56 & di shohihkan syaikh albani dalam irwaul gholil 23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”[Majmu’ Fatawa : 21/508]
Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”[al-Fatawa al—Kubro 1/423]

8.     Tarjih & analisa
Dari keterangan di atas kita katakan pada masalah imunisasi :
1.        Anggapan imunisasi tidak penting bagi anak bahkan banyak kejadian gagal, dan sistem vaksinasi yang sangat BERBAHAYA.
Untuk menjawab anggapan ini kami nukilkan keterangan Dr. Arief [6]yang kami anggap tsiqoh (terpercaya) dalam masalam ini, beliau berkata dalam situsnya www.drarief.com, setelah memaparkan anggapan-anggapan negatif seputar imunisasi : ” Isu-isu di atas adalah TIDAK BENAR. Saat ini informasi bisa kita dapatkan dengan mudah dengan cara apapun. Kita bisa mengetahui dari belahan dunia manapun dengan mudah dan cepat. Kita bisa menyaksikan bagaimana dunia berlomba-lomba meningkatkan kecanggihan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak, dengan mengurangi efek samping hingga seminimal mungkin. Sekarang kita juga bisa membuktikan bahwa para ahli di seluruh dunia sepakat bahwa imunisasi adalah penting.
Bagi beberapa orang yang termakan isu-isu di atas, silakan Anda cari informasi terkini yang berkenaan dengan imunisasi tersebut. Insya Allah Anda akan menemukan 100% informasi – yang ilmiah tentunya, bukan sekedar asal ngomong belaka – yang akan mendukung dan menguatkan dasar pentingnya dilakukan imunisasi.
“Toh anak saya juga sehat nggak pakai imunisasi…” nah lho? Memang benar ada kemungkinan anak Anda tetap sehat tanpa imunisasi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh dr. Adi di atas tadi, imunisasi bertujuan untuk memproteksi bukan 100%, terhadap penyakit. Ini artinya, bila sang anak yang sehat tanpa imunisasi tadi tidak tertular oleh penyakit yang dia tidak memiliki daya tahan terhadapnya maka kita sebut saja dia “beruntung”. Contohnya penyakit tuberculosis (TBC) yang dinyatakan secara statistik (dihitung orang per orang di setiap negara) bahwa Indonesia salah satu yang menduduki peringkat tertinggi di dunia. Apakah Anda tega membiarkan sang anak tanpa perlindungan dan hanya berbekal “semoga beruntung” saja?
Anak yang sudah diimunisasi dengan baik masih mungkin tertular penyakit tersebut. Namun, dibandingkan dengan yang tidak diimunisasi, tingkat sakitnya akan jauh berbeda.
Sebagai permisalan, pada saat turun hujan; anak yang diimunisasi adalah ibarat anak yang memakai jas hujan dan yang tidak diimunisasi adalah ibarat anak yang tidak memakai jas hujan. Apakah mungkin yang memakai jas hujan masih basah ? Mungkin saja! Tapi coba bandingkan dengan yang tidak pakai jas hujan. Tentu derajat “basahnya” tidak akan sama…
Nah khusus untuk poin isu ke-2 (sistem vaksinasi) di atas yang – mungkin – diyakini kebenarannya oleh beberapa orang, saya punya penjelasan sedikit ..Imunisasi memang benar berarti memasukkan penyakit ke dalam tubuh anak….. tapi tunggu dulu, bukan sembarang penyakit yang dimasukkan ke dalam tubuh sang anak tersayang.Vaksin penyakit yang dimasukkan kedalam tubuh anak pada imunisasi khusus untuk penyakit-penyakit yang terpilih yang berpotensi menimbulkan akibat yang fatal atau cacat yang permanen pada masa depannya. Vaksin tersebut adalah penyakit yang telah dilemahkan di laboratorium dan telah teruji secara klinis, sehingga yang didapatkan oleh sang anak adalah kekebalan terhadap penyakit tersebut dalam wujud sebenarnya – yang tidak dilemahkan.
Tubuh manusia memiliki suatu mekanisme untuk belajar mengatasi rangsangan dari luar. Ini adalah suatu karunia yang sangat besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Rangsangan ini bisa berwujud perubahan cuaca dari panas ke dingin (atau sebaliknya), kontak dengan bakteri dan virus yang ada di udara bebas, kontak dengan alergen; atau singkatnya : kontak dengan dunia luar. Anak yang sehat memiliki kemampuan untuk mempelajari dan membuat kesimpulan tentang apa yang dipelajarinya. Ini juga terjadi pada sistem imun (kekebalan) tubuhnya. Proses belajar pada kekebalan tubuhnya akan langsung terjadi sesaat setelah seseorang bersinggungan dengan penyakit (misalnya dari orang lain). Kekebalan akan didapatkan sebagai hasil akhir / kesimpulan dari proses belajar tersebut – dengan catatan – bila status gizi pada tubuhnya baik. Mungkin ia akan mengalami sakit dahulu, namun tubuhnya akan terus mempelajari dan membuat kesimpulan terhadap penyakit tersebut.
Kekebalan dapat diperoleh dengan 2 cara, yaitu kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Bedanya, yang satu didapatkan setelah seseorang sembuh dari suatu penyakit, dan yang lainnya didapatkan melalui vaksin penyakit tersebut.
Sebagai contoh : Seseorang bernama A terkena penyakit – sebut saja – penyakit “X”. Setelah sembuh, si A tadi akan memiliki kekebalan terhadap penyakit “X” tersebut. Pada kasus lain, seseorang lainnya bernama B mendapatkan vaksinasi penyakit “X”, dan dia mendapatkan kekebalan terhadap penyakit “X” tersebut. Menurut Anda, mana yang lebih bagus ? si A atau si B ? Anda menjawab “Tentu saja si A !”. Benarkah ?…..
Mungkin jawaban di atas benar, bila penyakit “X” yang dimaksud adalah penyakit yang sederhana, seperti flu biasa. Yang jadi masalah adalah : bagaimana bila penyakit “X” yang dimaksud adalah suatu penyakit yang fatal dan berpotensi untuk meninggalkan kecacatan??? Misalnya penyakit “X” tersebut adalah Polio, si A yang mendapat kekebalan setelah sembuh dari sakitnya belum tentu bisa berjalan dengan baik, bahkan mungkin ia tidak dapat berjalan lagi; sementara si B – yang mendapatkan vaksinasi polio – juga mendapatkan kekebalan terhadap penyakitnya, tetapi tanpa harus mengalami sakit terlebih dahulu…. Apa artinya seseorang memperoleh kekebalan setelah sembuh dari sakitnya, tapi ia kini juga memperoleh kecacatan (buta, lumpuh, dll) ? Tentu tidak banyak artinya. Apalagi pada konteks anak, masa depannya masih sangat-sangat-amat panjang sekali( http://www.drarief.com/fatwa-ulama-tentang-imunisasi/) –di nukil dengan sedikit  perubahan-
2.      Bahan-bahan imunisasi yang haram.
Pertama kami : katakan bahwa memang dari imunisasi ada bahan-bahan yang harom semisal enzim babi dll ( bedasarkan banyaknya keterangan ahli medis) namun ada yang menurut saya berlebih-lebihan ketika menyebutkan bahan-bahan vaksin yang menyeramkan & menjijikkan (seperti : sel kanker manusia, bayi kuda, ekstrak mentah lambung babi, nanah dll) dan efek samping, seperti yang mereka sebutkan “VAKSINASI SEBAB TERBESAR MATI MENDADAK’, “IMUNISASI = IQ RENDAH” DLL yang kebanyakan hanya menukil tanpa menyebukan buku referensi kedokteran yang autentik, oleh karena itu dr. Arief mengatakan ketika di tanya masalah tersebut dalam situsnya tersebut “Saya mengutip ucapan beberapa ustadz terkait hal ini, kejelasan kandungan yang berasal dari bahan yang haram juga tidak ditunjang dengan data yang pasti. Referensi syariah saya dalam hal ini adalah ustadz Abu Zubair Hawaary, dan ustadz Sufyan Baswedan, keduanya adalah alumni Madinah, insya Allah bisa dipegang fatwanya”.
Yang kedua : kalau memang kenyataannya seperti itu maka kami katakan : bukankah kita telah bahas pada bab yang lalu tentang masalah istihalah bahwa yang rojih adalah bisa mensucikan, dan proses pembuatan imunisasi sebagaimana keterangan-keterangan ahli medis (terutam anggota LPPOM)[7] 100% sudah bersih dari bahan-bahan harom tersebut[8]. Berikut kami nukilkan mereka dalam masalah vaksin meningitis
Berkata  Dr H Achmad Sanusi, SpPD, ketua MPKS dalam acara press briefing tentang persiapan WHA dan vaksin meningitis di gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat (14/5/2010) : "Kami mengkaji sistem ilmiahnya tentang bagaimana proses dari awal hingga didapatkan produk akhir, untuk vaksin meningitis ini yang diambil hanya polisakarida”. Beliau juga mengatakan “Bahan yang digunakan untuk membuat vaksin adalah polisakarida. Berdasarkan kajian yang kami lakukan, didapati bahwa hasil akhir yang berupa polisakarida tersebut tidak mengandung apa-apa”.

Juga apa yang di ungkapkan salah satu anggota LPPOM."Memang benar dalam proses produksinya vaksin meningitis bersentuhan dengan babi.  Tapi vaksinnya sudah tidak mengandung babi lagi karena dilakukan proses ultrafiltrasi."  (http://www.detikhealth.com/read/2010/05/14/134221/1356995/763/bahan-akhir-vaksin-meningitis-bebas-kandungan-babi?ld991107763)

3.         Manfaat dan bahaya imunisasi
Sebenarnya poin ini sudah di jelaskan di depan dari keterangan dr. Arief, namun perlu kami tambahkan bahwa manfaat imunisasi itu suatu yang tidak samar karena itu adalah tujuan dari di buatnya imunisasi adapun efek samping darinya maka seharusnya kita beri arahan dan motivasi kepada para dokter untuk meningkatkan kwalitas dan meminimalkan efek sampingnya, bukan malah membuat putus asa mereka dengan langsung vonis yang buruk. Dan sesungguhnya kejadian atas gagalnya imunisasi terhadap beberapa orang tidaklah mengubah status hukumnya, itu seperti beberapa obat atau tindakan medis (seperti operasi, kemoterapi dll) yang pernah mengalami kegagalan. Lantas apakah kita mengatakan tindakan-tindakan medis tersebut haram semuanya?!

9.      Fatwa para ulama’ tentang imunisasi.
Sebagai pelengkap pembahasan ini kami nukilkan fatwa para ulama’
1.      Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal Buhuts
Dalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :
1) Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apalagi terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
2) Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.[ Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.]

      2.   Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :
1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.
2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.[ Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.
]

         10.     kesimpulan dan penutup                                
Setelah keterangan di atas, maka kami memandang bolehnya imunisasi dengan kriteria-kriteria di atas atau yang semisalnya, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya jenis imunisasi yang di sepakati bahayanya yang memunculkan hukum baru
Kami menyimpulkan juga dari beberapa diskusi ilmiyyah yang menjadi titik dasar perselisihan adalah ADA BAHAN HARAMNYA dan telah berlalu penjelasannya pada bab istihalah bahwa yag rojih adalah bisa mensucikan demikian juga masalah istihlak, oleh karena itu ketika MUI memfatwakan bolehnya imunisasi jenis IPV adalah karena alasan darurat, karena memang pendapat MUI dalam hal ini adalah syafi’iyyah yang meniadakan pengaruh istihalah ataupun istihlak[9]
Adapun manfaat dan madhorot yang di timbulkannya kami memandang seperti umumnya obat-obat kimia yang memilikiki beberapa efek samping akan tetapi dengan adanya rekomendasi para dokter –insyaalloh- manfaatnya lebih besar dari pada bahayanya
Kemudian kita juga katakan bahwa asal imunisasi adalah boleh sedangkan bahaya yang di hasilkannya minimalnya masih tanda tanya dalam artian meragukan. Dan dalam kaidah fiqhiyyah di katakan :
اليقين لا يزول بالشك
“Suatu yang yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang meragukan”
Meskipun walohu a’lam kecenderungan hati kami bahwa imunisasi bukanlah suatu yang darurat karena kami tidak dapati pengaruh imunisasi seperti definisi darurat yang di terangkan ulama’ lebih-lebih kalau kita mau menerapkan “back to nature” kembali kepada yang alami & juga memakai tibbun nabawi yang telah teruji secara medis memiliki kandungan imun yang sangat besar[10]
Dan tulisan ini juga bukan ajakan wajib imunisasi. Akan tetapi seperti inilah tindakan obyektif dalam hukum islam, adapun setiap pribadi maka silahkan memakainya jika di pandang imunisasi  sangatlah urgen dan bagi yang lebih percaya pada thibbun nabawi silahkan meninggalkannya dan berusaha kembali ke hidup sehat ala rosul, akan tetapi kami ingatkan agar selalu menyandarkan semuanya kepada Allah dan kita tidak boleh sombong dengan sebab yang kita upayakan dalam menjaga kesehatan anak-anak kita -baik dengan cara imunisasi ataupun thibbun nabawi-
Bagi yang mengimunisasi, kemudian anaknya terkena penyakit yang dikhawatirkan, maka ia tidak akan menyalahkan vaksin itu sendiri, “Kenapa kok masih sakit padahal sudah di imunisasi” Karena memang sudah dijelaskan bahwa vaksin tidak memastikan bebas dari penyakit tersebut dan kita berusaha bersabar menerima takdir yang Allah tetapkan.
Begitupun kepada yang tidak mengimunisasi anaknya dan memilih thibbun nabawi, maka ketika anaknya terkena penyakit yang dikhawatirkan, maka tidak boleh menyalahkan thibbun nabawi tersebut sehingga mengurangi rasa cintanya pada thibbun nabawi dan kemudian menyalahkan diri dan menyesali, “kalau seandainya dulu pake vaksin”.
Karena kembali lagi, semuanya itu telah ditetapkan oleh Allah dan kita berusaha bersabar dan menerimanya.
Dan untuk kedua belah pihak, kalau seandainya anak saudaranya terkena penyakit yang dikhawatirkan, jangan bersikap sombong terhadap saudaranya, “Makanya, harusnya dulu diimunisasi.” atau ternyata yang terkena adalah anak yang diimunisasi, maka yang tidak mengimunisasi juga jangan sombong, sehingga kemudian masing-masing pihak lupa berdoa kepada Allah bahwa semua itu -kesehatan dan musibah yg tidak terkena padanya- adalah semata-mata keutamaan dari Allah dan hendaklah kita selalu memanjatkan doa kepada Alloh
الحمد لله اللذي فضلني على كثير من الناس
Segala puji bagi Allah yg telah memberi keutamaan kepadaku atas banyak orang.”
Dan akhirnya ini yang bisa kami uraikan seputar imunisasi sejauh tashowwur kami dari beberapa referensi karena keterbatasan referensi kami, dan kami sangat mengharapkan masukan dari saudara semua baik dari pemuka agama atau dari kalangan ahli medis. Dan apa yang ada dalam tulisan ini jika ada benarnya maka semata-mata dari Alloh dan jika ada kesalahan maka itu dari kami dan syaithon dan alloh dan rosulnya berlepas diri darinya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى اله وصحبه وسلم. واخر دعوانا ان الحمد لله رب العالمين






[1] Tulisan ini banyak mengambil faidah dari tulisan ustadzuna Abu Ubaidah dalam majalah al-furqon edisi 5 tahun 8 pada rubrik fiqh nawazil dengan judul “kontroversi hukum imunisasi polio” dan kitab “ahkamul adwiyah fis-Syariatil Islamiyah” karya Dr. Hasan bin Ahmad al-Fakki
[2] Sebagaimana pemaparan Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal Buhuts. Akan datang keterangannya pada bab 9.  fatwa para ulama tentang imunisasi
[3] Lihat himbauan ini dalam artikel kontroversi hukum imunisasi polio yang di tulis ustadzuna Abu Ubaidah
[4] Dan banyak lagi sebenarnya klaim-klaim mereka atas bahan imunisasi yang tersebar di dunia maya, diantaranya ginjal monyet dan anjing, embrio anak ayam, darah babi atau kuda dan nanah cacar sapi dan lain-lain yang mungkin lebih mengerikan lagi. Wallohu a’lam
[5] Di antara yang sangat keras menolak imunisasi adalah apa yang d sebutkan dalam majalah nikah volume 6 no.2 mei 2007 dengan membawakan hujjah-hujjah, diantaranya system vaksin yang menipu & beberapa data atas kegagalan imunisasi. Wallohu a’lam
[6] Beliau adalah dokter umun yang berdomisili di kota solo & banyak mengenal ustadz-ustadz salaf (lihat dalam situsnya & coment yang di bawahnya www.drarief.com
[7] Adalah singkatan dari lembaga pengkajian obat dan kosmetika, suatu lembaga yang di bentuk oleh MUI dengan tugas mengaudit perusahaan yang menghendaki mendapat sertifikat halal dari MUI
[8] Syaikhuna Ust. Ahmad Sabiq sering menyampaikan kepada kami akan konsultasi beliau kepada beberapa dokter & mahasiswa kedokteran jurusan farmasi tersebut tentang proses pembuatan vaksin dan mereka mengatakan bahwa proses akhir pembuatan vaksin bebas dari bahan harom
[9] Hal ini sama seperti masalah yang sempat geger yaitu masalah produk pelezat ajinomoto yang di informasikan ada kandungan lemak babinya. Kalau kita memahami masalah istihlal maka tidaka ada masalah lagi. Wallohu a’lam (faidah dari syaikhuna Ahmad Sabiq. Lc)
[10] Al-ustadz DR. Arifin Badri MA memiliki buku yang sangat bagus tentang masalah tersebut dengan judul “Imunisasi syariat” sekaligus sebagai bahan resensi kitab di majalah kami al-furqon edisi depan insyaalloh.

Minggu, 07 November 2010

Membongkar kedok Abu Salafi CS

mengungkap tipu muslihat abu salafyAlhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.

Sungguh merinding tatkala membaca tulisan-tulisan tentang dimana Allah yang ditulis oleh Abu Salafy dan pemilik blog salafytobat. Karena tulisan-tulisan mereka penuh dengan tuduhan-tuduhan serta manipulasi fakta yang ada. Ternyata mulut-mulut mereka sangatlah kotor. Cercaan dan makian memenuhi tulisan-tulisan kedua orang ini yang pada hakekatnya mereka berdua takut menunjukkan hakekat mereka berdua. Begitulah kalau seseorang merasa berdosa dan bersalah takut ketahuan batang hidungnya. Allahul Musta'aan.

Sesungguhnya apa yang mereka berdua perjuangkan hanyalah lagu lama yang telah dilantunkan oleh pendahulu-pendahulu mereka yang bingung sendiri dengan aqidah mereka.

Maka pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengungkapkan manipulasi fakta yang telah mereka lakukan dan mengungkap kerancuan cara berpikir kedua orang ini.
Dan tulisan kali ini terkonsentrasikan pada pengakuan Abu Salafi cs bahwasanya aqidah mereka tentang dimana Allah adalah aqidah yang disuarakan oleh sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dan juga sebagian ulama salaf. Sebagaimana pengakuan mereka ini tercantumkan dalam : http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/ (dalam sebuah artikel yang berjudul : Ternyata Tuhan itu tidak di langit).


Sebelum membantah pengakuan mereka tersebut maka kami akan menjelaskan tentang 3 point yang sangat penting yang merupakan muqoddimah (pengangtar) untuk membuktikan tipu muslihat mereka. Point-point tersebut adalah :
1.     Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.
2.     Perkataan para ulama Islam (dari kalangan sahabat, para tabi'iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.
3.     Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa'iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.


Ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit

Keberadaan Allah di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam. Diantara mereka:

Pertama : Al-Imam Al-Auzaa'i rahimahullah (wafat 157 H)

Al-Auzaa'i berkata : "Ketika kami dahulu –dan para tabi'in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah" (Al-Asmaa' was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)

Kedua : Qutaibah bin Sa'iid (150-240 H)

Beliau berkata :

هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى

"Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama'ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas 'arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas 'arsy beristiwa" (Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi berkata, "Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya" (Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103)

Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :

"Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran"  (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)

Keempat : Utsmaan bin Sa'iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)

Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod 'alal Marriisi
"Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah" (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa'iid  alaa Bisyr Al-Mariisi Al-'Aniid Hal 25)

Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)

Beliau berkata :

القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء".

"Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta'aala di atas 'arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya"
(Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy'ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa' Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185)


Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)

Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254

"Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur'an dan melalui lisan NabiNya –'alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa 'alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah"

Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah 'an Syarii'at Al-Firqoh An-Naajiyah :

"باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه"

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه

ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان". انتهى

“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”

Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-'uluw li Adz-Dzahabi 2/1284)

Kedelapan: Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)

Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul

" أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء"

وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.".

"Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya

Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas 'Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz" (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-'Uluw 2/1315)

Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan  para imam dari para qurroo` di Andalusia" (Al-'Uluw 2/1315)

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 - 449H)

Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya" (Al-'Uluw 2/1317)

Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi  (meninggal pada tahun 444 H)


Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A'laam An-Nubalaa' 17/656) :

Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya"

Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-'Uluw 2/1321

Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)


Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod,

“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa  Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…

dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-'Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-'Uluw 261)

Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang 'ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-'Uluw 2/1306)

Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)

Berkata Ibnu Abi Hatim :

"Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:

Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang...

Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana  Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I'tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah karya Al-Laalikaai 1/198)

Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,

“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201

Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)


Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),

"Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)

Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :


"Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…"" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)

Beliau juga berkata :

"Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)

Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf

Perkataan salaf dan para ulama mutaqoddimin yang menunjukan bahwa Allah berada di atas langit


Adapun perkataan para ulama yang menunjukan bahwasanya Allah berada di atas langit maka sangatlah banyak. Perkataan mereka telah dikumpulkan oleh Al-Imam Al-Muhaddits Ad-Dzahabi As-Syafii dalam kitabnya Al-'Uluw li Al-'Aliyyi Al-'Adziim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2414 dan http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2413 dua cetakan dengan dua pentahqiq yang berbeda) demikian juga kitab Al-Ijtimaa' al-Juyuusy Al-islaamiyyah karya Ibnul Qoyyim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2835). Sungguh dua kitab ini telah mengumpulkan banyak sekali perkataan sahabat, para salaf, dan para ulama dari abad yang berbeda-beda dan dari madzhab yang berbeda-beda.

Oleh karenanya tidak ada seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang perkataannya menunjukan bahwasanya Allah tidak berada di atas.

Perkataan para ulama Asyaa'iroh yang mengakui Allah di atas langit

Ternyata kita dapati bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asyaa'iroh juga mengakui keberadaan Allah di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmaa' wa As-Sifaat (2/308)

Beliau berkata, "Dan atsar dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah berisitwa di atas 'arsy -pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu 'anhu menunjukan di atas jalan ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan Ali bin Ismaa'iil Al-'Asy'ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu fi'il (perbuatan) di 'arsy yang Allah namakan istiwaa'… Dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thobari dan juga para ahli nadzor bahwasanya Allah ta'aalaa di langit di atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas 'arsynya, yaitu maknanya Allah di atas 'arsy. Dan makna istiwaa' adalah tinggi di atas sebagaimana jika dikatakan "aku beristiwa' di atas hewan", "aku beristiwa di atas atap", maknanya yaitu aku tinggi di atasnya, "Matahari beristiwa di atas kepalaku"

Dari penjelasan Al-Imam Al-Baihaqi di atas nampak ;
-   Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di atas.
-   Ini merupakan madzhab As-Syafi'i dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
-   Ini merupakan madzhab sebagian pembesar Asyaa'iroh seperti Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abul Hasan At-Thobari.


Pertama : Imam Abul Hasan Al-Asy'ariy rahimahullah


Merupakan perkara yang  mengherankan bahwasanya diantara para ulama yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar kaum Asyaa'iroh yaitu Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari yang hidup di abad ke empat Hijriah. Dialah nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun berintisab (berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqoh Asyaa'iroh.
Berkata Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:

Ijmak kesembilan :

Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta'aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).

Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).

Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan bukanlah istiwaa'nya di atas arsy maknanya istiilaa' (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu'tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4)
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta'wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada" (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234)

Ini merupakan hikayat kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah

….

Dan bahwasanya Allah –subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan Allah memiliki dua tangan tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki wajah… (Maqoolaatul Islaamiyiin 1/345)

Kedua : Abu Bakr Al-Baaqillaani (wafat 403 H)


Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah

"Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas 'arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya "ArRahman  di atas 'arsy beristiwaa", dan Allah berfirman "Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik", dan Allah berfirman "Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?"

Beliau berkata, "Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …

(Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-'Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-'Uluw 258))


Ketiga : Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H)


Beliau berkata dalam kitabnyaAl-I'tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul 'Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama  bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa' (hal 116)

"Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, "Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma", yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman "Berjalanlah kalian di bumi", maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa'. Dan 'Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a'lam- adalah "Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas 'arsy?"
Oleh karenanya ana meminta Abu Abu Salafy Al-Majhuul dan pemilik bloig salafytobat untuk mendatangkan satu riwayat saja dari para sahabat atau para salaf dengan sanad yang shohih bahwasanya mereka mengingkari Allah berada di atas langit. Kalau mereka berdua tidak mampu mendatangkan satu riwayatpun maka ketahuilah bahwasanya aqidah yang mereka bawa hanyalah aqidah karangan mereka berdua sendiri dan merupakan wahyu dari syaitan.

Tipu muslihat Abu Salafy

Dari sini kita akan membongkar kedustaan Abu salafy yang berusaha menggambarkan kepada masa bahwasanya aqidah batilnya tersebut juga diyakini oleh para sahabat.

Abu Salafi berkata :
(http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/) "

Pegenasan Imam Ali as.

Tidak seorang pun meragukan kedalaman dan kelurusan akidah dan pemahaman Imam Ali ibn Abi Thalib (karramalahu wajhahu/semoga Alllah senantiasa memuliakan wajag beliau), sehingga beliau digelari Nabi sebagai pintu kota ilmu kebanian dan kerasulan, dan kerenanya para sahabat mempercayakannya untuk menjelaskan berbagai masalah rumit tentang akidah ketuhanan. Imam Ali ra. berkata:

كان ولا مكان، وهو الان على كان.

”Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”


Beliau ra. juga berkata:

إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.

”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]
Beliau juga berkata:

من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.

”Barang siapaa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd[2] maka ia telah jahil/tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”
[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.]  )) -demikian perkataan Abu Salafy-.

Ini merupakan kedustaan Abu Salafy terhadap Ali Bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu. Hal ini akan jelas dari beberapa sisi:

Pertama : Sesungguhnya atsar ini dibawakan oleh orang-orang Syi'ah Rofidoh dalam buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Diantaranya dalam kitab mereka Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata:

وَ رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ ( عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ

Dan diriwayatkan bahwasanya Ali bin Abi Tholib 'alaihis salam ditanya : Dimanakah Robb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Tholib 'alaihis salaam berkata, "Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ وَ الْمَكَانِ)

Ternyata memang aqidah orang-orang Asyaa'iroh semisal Abu salafy dan pemilik blog salafytobat cocok dengan aqidah orang-orang Syi'ah Rofidhoh dalam masalah dimana Allah. Karena memang orang-orang Rofidhoh beraqidah mu'tazilah, dan Asya'iroh dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu'tazilah (padahal Mu'tazilah adalah musuh bebuyutan Asya'iroh, sebagaimana nanti akan datang penjelasannya).

Atsar ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighoh "Diriwayatkan" yang menunjukan lemahnya riwayat ini.

Kedua : Demikian juga yang dinukil oleh Abu Salafy dari kitab Al-Farqu bainal Firoq karya Abdul Qohir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali.
Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata :

"Mereka telah bersepakat bahwasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeda dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwasanya Allah menyetuh 'Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karroomiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiollahu 'anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-'Arsy untuk menunjukan kekuasaanNya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi dzatNya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu" (Al-Farqu baynal Firoq hal 33)

Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Tholib yang dibawakan oleh Abdul Qohir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Abu Salafy cs, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil

Ketiga : Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qohir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddits, namun demikianlah Abu Salafy cs tetap aja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenal sebagai Muhaddits

Keempat : Abdul Qohir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan super gurunya yaitu Abul Hasan Al-'Asy'ari

Kelima : Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas shahih maka tidak menunjukan bahwasanya Ali bin Abi Tholib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling banter dalam riwayat-riwayat di atas beliau –radhialllahu 'anhu- hanyalah mengingkari bahwasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar.

Ahlus sunnah tidak mengatakan bahwa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya Allah berada di atas, yaitu di arah atas.

Jangan disamakan antara tempat dan arah

Adapun penjelasan maksud dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwasanya Allah berada di atas, maka melalui point-point berikut ini:

1-    Ketinggian itu ada dua, ada ketinggian relatif dan ada ketinggian mutlaq. Adapun ketinggan relatif maka sebagaimana bila kita katakana bahwasanya lantai empat lebih tinggi daripada lantai satu, akan tetapi hal ini relatif, karena ternyata lantai empat lebih rendah daripada lantai enam.

2-    Adapun ketinggian mutlak adalah ketinggian kearah atas. Semua manusia di atas muka bumi ini bersepakat bahwasanya semakin sesuatu ke arah atas maka semakin tinggilah sesuatu tersebut. Maka jadilah poros bumi sebagai titik nol pusat kerendahan, dan semakin ke arah atas (yaitu ke arah langit) maka berarti semakin kearah yang tinggi. Oleh karenanya sering juga kita mendengar perkataan para fisikawan "Tinggi gunung ini dari permukaan tanah…. atau dari permukaan air laut..". Oleh karenanya kita harus paham bahwasanya langit senantiasa letaknya di atas. Taruhlah jika kita sedang berada di bagian bumi bagian selatan, maka langit pada bagian bumi selatan adalah di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi utara juga berada di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi barat dan langit pada bagian bumi timur.

3-    Apa yang ada dalam alam wujud ini hanyalah ada dua, Kholiq (yiatu Allah) dan alam semesta (yaitu seluruh makhluk). Dan bagian alam yang paling tinggi adalah langit yang ke tujuh, dan Allah berada di atas langit yang ketujuh, yaitu Allah berada di luar alam. Janganlah di bayangkan bahwa setelah langit yang ke tujuh ada ruang hampa tempat Allah berada, karena ruang hampa juga merupakan alam. Intinya kalau dianggap ada yang lebih tinggi dari langit ketujuh dan merupakan penghujung alam semesta dan yang tertinggi maka Allah berada di balik (di luar) hal itu, dan lebih tinggi dari hal itu. Sehingga tidak ada suatu tempat (yang tempat merupakan makhluk Allah) yang meliputi Allah, karena Allah di luar alam semesta.

4-    Dari penjelasan di atas, maka jika Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah di jihah (di arah) atas maka bukanlah maksudnya Allah berada di suatu tempat yang merupakan makhluk. Akan tetepi Allah berada di luar alam, dan berada di arah atas alam. Dan jihah tersebut bukanlah jihah yang berwujud akan tetapi jihah yang tidak berwujud karena di luar alam. (lihat penjelasan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Al-Kasyf  'an Manhaj Al-Adillah hal 145-147)

5-    Imam Ahmad pernah menjelaskan sebuah pendekatan pemahaman tentang hal ini.
Beliau berkata
"Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya.

Katakan lagi kepadanya, "Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?". Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut.

Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah.

Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk.

Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar dzatnya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah" (Ar-Rod 'alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)

6-    Perkataan Imam Ahmad أَلَيْسَ اللهُ كَانَ وَلاَ شَيْءَ (Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?) sama dengan perkataan كان الله ولا مكان (Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat.) Perkataan Imam Ahmad ini di dukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam shahihnya
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ

"Dahulu Allah (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya" (HR Al-Bukhari no 3191)
Dan kalimat  disini memberikan faedah keumuman, yaitu tidak sesuatupun selain Allah tatkala itu, termasuk alam dan tempat.

Meskipun Imam Ahmad mengatakan demikian akan tetapi beliau tetap menetapkan bahwasanya Allah berada di atas. Dari sini kita pahami bahwa penetepan adanya Allah di atas tidaklah melazimkan bahwasanya Allah berada atau diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk.

Perkataan Imam Ahmad ini mirip dengan perkataan Abdullah bin Sa'iid Al-Qottoon sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dalam kitabnya maqoolaat Al-Islamiyiin 1/351

Abul Hasan Al-Asy'ari berkata, "Dan Abdullah bin Sa'iin menyangka bahwasanya Al-Baari (Allah) di zaman azali tanpa ada tempat dan zaman sebelum penciptaan makhluk, dan Allah senantiasa berada di atas kondisi tersebut, dan bahwasanya Allah beristiwaa' di atas 'arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu"

Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Abdullah bin Sa'iid meyakini bahwasanya Allah tidak bertempat, akan tetapi ia –rahimahullah- tidak memahami bahwasanya hal ini melazimkan Allah tidak di atas. Sehingga tidak ada pertentangan antara keberadaan Allah di arah atas dan kondisi Allah yang tidak diliputi suatu tempat.

Pemahaman Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa'iid bertentangan dengan pemahaman Abu Salafy cs yang menyangka bahwa kalau kita menafikan tempat dari Allah melazimkan Allah tidak di atas. Atau dengan kata lain Abu Salafy cs menyangka kalau Allah berada di arah atas maka melazimkan Allah diliputi oleh tempat.

Lihat juga penjelasan Abu Bakar bin Faurok sebagaimana dinukil oleh Al-Baihaqi dalam Al-Asmaa' wa as-Sifaat 2/309

"Dan tidaklah maksudnya adalah tinggi dengan jarak atau menempati suatu medan atau di suatu tempat dan menetap di tempat tersebut. Akan tetapi maksud dari firman Allah "Apakah kamu merasa aman dari Allah yang di langit" (QS Al-Mulk : 16) yaitu yang berada di atas langit, yang maknanya adalah menafikan had (batasan) dariNya, dan bahwasanya Allah tidak diliputi oleh suatu lapisan atau dataran"

Adapun riwayat Abu Nu'aim dalam hilyatul Auliyaa 1/73

Adapun sanad dari riwayat diatas sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 1/72 adalah sbb:

Ana berharap Abu Salafy cs mendatangkan biografi para perawi di atas dan menghukumi keabsahan sanad di atas !!!



Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Imam Ali ibn Husain –Zainal Abidin- ra.

Ali Zainal Abidin adalah putra Imam Husain –cucu terkasih Rasulullah saw.- tentang ketaqwaan, kedalaman ilmu pengatahuannya tentang Islam, dan kearifan Imam Zainal Abidin tidak seorang pun meragukannya. Beliau adalah tempat berujuk para pembesar tabi’in bahkan sehabat-sabahat Nabi saw.

Telah banyak diriwayatkan untaian kata-kata hikmah tentang ketuhanan dari beliau ra. di antaranya adalah sebagai berikut ini.

أنت الله الذي لا يحويك مكان.

”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dirangkum oleh tempat.”

Dalam hikmah lainnya beliau ra. berkata:

أنت الله الذي لا تحد فتكون محدودا

”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau menjadi terbatas.”[ Ithâf as Sâdah al Muttaqîn, Syarah Ihyâ’  ‘Ulumuddîn,4/380])) -Demikan perkataan Abu Salafi-

Firanda berkata:

Ana katakan kepada Abu Salafy, dari mana riwayat ini? Mana sanadnya?, bagaimana biografi para perawinya? Apakah riwayat ini shahih…??!!

Para pembaca yang budiman, berikut ini kami akan tunjukan sumber pengambilan Abu Salafy yaitu kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 4/380



Dalam buku ini dijelaskan bahwasanya atsar Zainal Abidin ini bersumber dari As-Shohiifah As-Sajjaadiyah, kemudian sanadnya sangatlah panjang, maka kami meminta Al-Ustadz Abu Salafy al-Majhuul dan teman-temannya untuk mentahqiq keabsahan sanad ini dari sumber-sumber yang terpercaya. Jika tidak maka para perawi atsar ini dihukumi majhuul, sebagaimana diri Abu salafy yang majhuul. Maka jadilah  periwayatan mereka menjadi riwayat yang lemah.

Tahukah Al-Ustadz Abu salafy Al-Majhuul bahwasanya As-Shohiifah As-Sajjadiyah adalah buku pegangan kaum Rofidhoh?, bahkan dinamakan oleh Rofidhoh dengan nama Ukhtul Qur'aan (saudarinya Al-Qur'an) karena menurut keyakinan mereka bahwasanya perkataan para imam mereka seperti perkataan Allah.

Sekali lagi ternyata Abu Salafy cs doyan untuk bersepakat dengan kaum Syi'ah Rofidhoh, doyan dengan aqidah mereka…???!!!

Ana sarankan ustadz Abu salafy untuk membaca buku yang berjudul Haqiqat As-Shahiifah As-Sajjadiah karya DR Nasir bin Abdillah Al-Qifarii (silahkan didownload di http://www.archive.org/download/hsshss/hss.pdf)



Abu Salafy berkata :

Penegasan Imam Ja’far ash Shadiq ra. (W. 148 H)

Imam Ja’far ash Shadiq adalah putra Imam Muhammad -yang digelaru dengan al Baqir yang artinya si pendekar yang telah membela perut ilmu pengetahuan karena kedalaman dan kejelian analisanya- putra Imam Ali Zainal Abidin. Tentang kedalam ilmu dan kearifan Imam Ja’far ash Shadiq adalah telah menjadi kesepakatan para ulama yang menyebutkan sejarahn hidupnya. Telah banya dikutip dan diriwayatkan darinya berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan, khususnya tentang fikih dan akidah.

Di bawah ini kami sebutkan satu di antara pegesan beliau tentang kemaha sucian Allah dari bertempat seperti yang diyakini kaumm Mujassimah Wahhabiyah. Beliau berkata:

من زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولا، ولو كان في شىء لكان محصورا، ولو كان من شىء لكان محدثا- أي مخلوقا.

”Barang siapa menganggap bahwa Allah berada dalam/pada sesuatu, atau di attas sesuatu maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Sebab jika Dia berada di atas sesuatu pastilah Dia itu dipikul. Dan jika Dia berada pada/ di dalam sesuatu pastilah Dia terbatas. Dan jika Dia terbuat dari sesuatu pastilah Dia itu muhdats/tercipta.”[ Risalah al Qusiariyah:6])) –demikian perkataan Abu Salafy-



Firanda berkata :

Demikianlah Abu Salafy Al-Majhuul, tatkala tidak mendapatkan seorang salafpun yang mendukung aqidahnya maka diapun segera mencari riwayat-riwayat yang mendukung aqidahnya meskipun riwayat tersebut lemah, bahkan meskipun tanpa sanad. Inilah model pendalilalnnya sebagaiamana telah lalu.

Berikut ini kami nukilkan langsung riwayat tanpa sanad tersebut dari kita Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah

Dan nampaknya Abu Salafy tidak membaca buku ini secara langsung sehingga salah dalam menyebutkan nama buku ini. Abu Salafy berkata " Risalah al Qusiariyah "

Dan rupanya Abu Salafy sadar bahwasanya tipu muslihatnya ini akan tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul adalah ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits shahih, oleh karenanya berani untuk mengkritik As-Syaikh Al-Albani rahimahullah-. Oleh karenanya agar tidak dituduh dengan tuduhan macam-macam, maka Al-Ustadz Al-Majhuul segera membungkusi tipu muslihatnya ini dengan berkata :

Peringatan:

Mungkin kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan kami dari para tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan kemudian menuduh kami sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya terbiasa menerima informasi agama dari kaum Mujassimah generasi awal seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk.. Jadi wajar saja jika mereka kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah keluarga Nabi saw. karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah tajsîm dan tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang berpura-pura memeluk Islam!

Dan sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al Hanbali bahwa kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam Ahmad; imam mereka dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga seakan identik antara bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di tengah-tengah mereka terdapat jumlah yang tidak sedikit dari kaum nawâshib yang sangat mendengki dan membenci Ahlulbait Nabi saw. dan membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah; Mu’awiyah, Yazid …. .[ Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi])) –demikianlah perkataan abu

Firanda berkata :

Lihatlah bagaimana buruknya akhlaq Abu Salafy yang hanya bisa menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan-tuduhan yang kasar namun tanpa bukti. Perkataannya ini mengandung beberapa pengakuannya :

1.     Dia sudah sadar kalau bakalan dituduh mengekor Syia'h namun kenyataannya adalah demikian. Oleh karenanya dengan sangat berani dia mengkutuk Sahabat Mulia Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu. Bukankah ini adalah aqidah Syi'ah Rofidhoh???, bukankah meyakini Allah tidak di atas adalah aqidah Rofidhoh??. Imam Ahlus Sunnah manakah yang mengutuk Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu???!!. Kita Ahlus Sunnah cinta dengan Alu Bait, akan tetapi ternyata semua riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad.

2.     Dia menuduh bahwa Ahlus Sunnah (yang disebut Wahhabiah olehnya) benci terhadap keluarga Nabi…, manakah buktinya ada seorang Wahhabi yang benci terhadap keluarga Nabi??. Bukankah As-Syaikh Muhammad Bin AbdilWahaab guru besarnya para Wahhabiyyah telah menamakan enam anak-anaknya dengan nama-nama Alul bait???

3.     Menuduh Muqotil dkk sebagai mujassimah. Ana ingin tahu apa maksud dia dengan "dkk"??!!

Setelah ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya terhadap para Alul Bait, maka Abu Salafy tidak putus asa, maka ia melancarkan tipu muslihat berikutnya. Yaitu berusaha menukil dari para imam madzhab. Namun seperti biasa, ia hanya mampu mendapatkan riwayat-riwayat tanpa sanad. Sungguh aneh tapi nyata, sang ustadz berani mengkritik syaikh Al-bani namun ternyata ilmu hadits yang dimiliki sang ustadz hanya digunakan untuk mengkritik, dan tatkala berbicara tentang aqidah –yang sangat urgen tentunya- ilmu haditsnya dibuang, dan berpegang pada riwayat-riwayat tanpa sanad. Wallahul Musta'aan.

Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Abu Hanifah ra.

Di antara nama yang sering juga dimanfa’atkan untuk mendukung penyimpangan akidah kaum Mujassimah Wahhabiyah adalah nama Imam Abu Hanifah, karenanya penting juga kita sebutkan nukilan yang nenegaskan akidah lurus Abuhanifah tentang konsep ketuhanan. Di antaranya ia berkata:

ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق

”Perjumpaan dengan Allah bagi penghuni surga tanpa bentuk dan penyerupaan adalah haq.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:138]))- demikian perkatan Abu Salafy

Firanda berkata :

Para pembaca yang budiman marilah kita mengecek kitab-kitab yang merupakan sumber pengambilan riwayat Abu Hanifah yang dilakukan Abu Salafy

Berkata Mulla 'Ali Al-Qoori dalam syarah Al-Fiqh Al-Akbar hal 246 :

"Dan berkata Al-Imaam Al-A'dzom (maksudnya adalah Abu Hanifah-pent) dalam kitabnya Al-Washiyyah : Dan pertemuan Allah ta'aala dengan penduduk surga tanpa kayf, tanpa tasybiih, dan tanpa jihah merupakan kebenaran". Selesai" (Minah Ar-Roudh Al-Azhar fi syarh Al-Fiqh Al-Akbar, karya Ali bin Sulthoon Muhammad Al-Qoori, tahqiq Wahbi Sulaimaan Gowjiy hal 246)

Ternyata riwayat Imam Abu Hanifah di atas berasal dari sebuah kitab yang berujudl "Al-Washiyyah" yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.

Sebelum melanjutkan pembahasan ini, saya ingin meningatkan pembaca tentang sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah.

Riwayat tersebut adalah perkataan beliau rahimahullah :

مَنْ قال لا أعْرِفُ ربِّي في السماء أم في الأرضِ فقد كفر، لأَنَّ اللهَ يقول: {الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏}، و عرشه فوق سبع سماواته.

“Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏.

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arsy.” (QS. Thâhâ;5)

dan Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.”

Riwayat Abu Hanifah ini termaktub dalam kitab Al-Fiqhu Al-Akbar, dan buku ini telah dinisbahkan oleh Abu Hanifah. Akan tetapi buku ini diriwayatkan oleh Abu Muthii' Al-Balkhi.

Al-Ustadz Abu Salafy tidak menerima riwayat ini dengan dalih bahwasanya sanad periwayatan buku Al-Fiqhu Al-Akbar ini tidaklah sah karena diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh dusta.

Abu Salafy berkata :

((Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!!

Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi.

Adz Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’ (pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574.

Ketika seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu berarti ia berada di atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat atas seorang perawi yang paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian jarhi wa ta’dîl !

Imam Ahmad berkata tentangnya:

لا ينبغي أن يُروى عنه شيئٌ.

“Tidak sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.”

Yahya ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.”

Ibnu Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan kaum Mujassimah yang satu ini:

Abu Hatim ar Razi:

كان مُرجِئا كَذَّابا.

“Ia adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.”

Adz Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka untuk itu dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.” (Lisân al Mîzân,2/335)  ))-demikian perkataan Abu Salafy sebagaiamana bisa dilihat di http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/13/kaum-wahhabiyah-mujassimah-memalsu-atas-nama-salaf-1/)



Demikianlah penjelasan Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul.

Sekarang saya ingin balik bertanya kepada Pak Ustadz, manakah sanad periwayatan kitab Al-Washiyyah karya Abu Hanifah???

Dan sungguh aneh tapi nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy telah menyatakan dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii' Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy masih juga nekat mengambil riwayat dari buku tersebut.

Abu Salafy berkata :

Dan telah dinukil pula bahwa ia (yaitu abu hanifah) berkata:

قلت: أرأيت لو قيل أين الله تعالى؟ فقال- أي أبو حنيفة-: يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء.

”Aku (perawi) berkata, ’Bagaimana pendapat Anda jika aku bertanya, ’Di mana Allah?’ Maka Abu Hanifah berkata, ’Dikatakan untuk-Nya Dia telah ada sementara tempat itu belum ada sebelum Dia menciptakan tempat. Dia Allah sudah ada sementara belum ada dimana dan Dia belum meciptakan sesuatu apapun. Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.” [ Al Fiqhul Absath (dicetak bersama kumpulan Rasâil Abu Hanifah, dengan tahqiq Syeikh Allamah al Kautsari): 25])) –demikian perkataan Abu Salafy-

Para pembaca sekalian tahukah anda apa itu kitab Al-Fiqhu Al-Absath?, dialah kitab Al-Fiqhu Al-Akbar dengan periwayatan Abul Muthii' yang dikatakan dusta oleh Abu Salafy sendiri.

Lihatlah perkataan Al-Kautsari :

"Dan telah dicetak di India dan Mesir syarh Al-Fiqh Al-Akbar dengan riwayat Abu Muthii', dan dialah yang dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakan dengan Al-Fiqh Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammaad bin Abi Haniifah"

Al-Kautsari juga berkata di muqoddimah tatkala mentahqiq Al-Fiqh Al-Absath :

"Dia adalah Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Abu Muthii', dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakannya dengan Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammad bin Abi Haniifah dari ayahnya. Dan perawi Al-Fiqh Al-Absath yaitu Abu Muthii' dia adalah Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhi sahabatnya Abu hanifah…"

Sungguh aneh tapi nyata, ternyata Al-Ustadz Abu Salafy yang telah menyatakan kedustaan kitab Al-Fiqhu Al-Absath ternyata juga menjadikan kitab tersebut sebagai dalil untuk mendukung hawa nafsunya. Maka kita katakan kepada Al-Ustadz Abu Salafy–sebagaimana yang ia katakan sendiri- : Anda wahai Abu Salafy.

Yang anehnya dalam buku Al-Fiqhu Al-Absath yang ditahqiq oleh ulamanya Abu Salafy yang bernama Al-Kautsari terdapat nukilan yang "mematahkan punggung" kaum jahmiyyah dan Asyaa'iroh muta'akkhirin, dan neo Asya'iroh seperti Abu Salafy cs. Dalam buku tersebut Abu Haniifah berkata :


Abu Hanifah berkata, “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Demikian juga orang yang mengatakan "Sesunguhnya Allah di atas 'arsy (tapi) aku tidak tahu apakah 'arsy itu di langit atau di bumi"

…..



Inilah kitab Al-Fiqh Al-Absath tahqiq Al-Kautsari yang dijadikan pegangan oleh Al-Ustadz Abu Salafy. Ternyata Abu Hanifah mengkafirkan orang yang tidak mengatakan Allah di atas langit dengan berdalil dengan hadits Jaariyah (budak wanita) yang tatkala ditanya oleh Nabi "Dimanakah Allah" maka sanga budak mengisyaratkan tangannya ke langit.

Penjelasan saya ini juga saya anggap cukup untuk menyingkap kesalahan pemilik blog salafytobat (lihat http://salafytobat.wordpress.com/2008/06/16/hujjah-imam-hanafi-kalahkan-aqidah-sesat-salafy-wahaby/)



Abu Salafy berkata ((Dalam kesempatan lain dinukil darinya (yaitu dari Abu Hanifah):

ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا.

”Kami menetapkan (mengakui) bahwa sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Dialah Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan kepadanya. Jika Dia butuh kepadanya pastilah Dia tidak kuasa mencipta dan mengatur alam semesta, seperti layaknya makhluk ciptaan. Dan jika Dia butuh untuk duduk dan bersemayam, lalu sebelum Dia menciptakan Arsy di mana Dia bertempat. Maha Tinggi Allah dari anggapan itu setinggi-tingginya.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:75]

Pernyataan Abu Hanifah di atas benar-benar mematahkan punggung kaum Mujassimah yang menamakan dirinya sebagai Salafiyah dan enggan disebut Wahhâbiyah yang mengaku-ngaku tanpa malu mengikuti Salaf Shaleh, sementara Abu Hanifah, demikian pula dengan Imam Ja’far, Imam Zainal Abidin adalah pembesar generasi ulama Salaf Shelah mereka abaikan keterangan dan fatwa-fatwa mereka?! Jika mereka itu bukan Salaf Sheleh yang diandalkan kaum Wahhabiyah, lalu siapakah Salaf menurut mereka? Dan siapakah Salaf mereka? Ka’ab al Ahbâr? Muqatil? Atau siapa?))- demikianlah perkataan Abu Salafy-

Firanda berkata :

Kami katakan :
1-    Isi dari nukilan tersebut sama sekali tidak berententangan dengan aqidah Ahlus Sunnah, karena Ahlus Sunnah (Wahhabiyah/As-Salafiyah) tatkala menyatakan Allah beristiwa di atas 'arsy tidaklah melazimkan bahwasanya Allah membutuhkan 'arsy. Dan tidak ada kelaziman bahwasanya yang berada di atas selalu membutuhkan yang di bawahnya. Jika kita perhatikan langit dan bumi maka kita akan menyadari akan hal ini. Bukankah langit berada di atas bumi?, bukankah langit lebih luas dari bumi?, bukankah langit tidak butuh kepada bumi? Apakah ada tiang yang di tanam di bumi untuk menopang langit?. Jika langit yang notabene adalah sebuah makhluq namun tidak butuh kepada yang di bawahnya bagaimana lagi dengan Kholiq pencipta 'arsy.

2-    Nukilan dari Abu Hanifah tersebut sesuai dengan aqidah As-Salafiyyah dan justru bertentangan dengan aqidah Abu Salafy cs. Bukankah dalam nukilan ini Abu Hanifah menetapkan adanya sifat istiwaa? Dan tidak mentakwil sifat istiwaa sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Salafy cs??. Abu Hanifah menjelaskan bahwasanya Allah beristiwaa (berada di atas) 'arsy akan tetapi tanpa ada kebutuhan sedikitpun terhadap 'arsy tersebut.

3-    Oleh karenanya kita katakan bahwa justru nukilan ini merupakan boomerang bagi Abu Salafy cs yang selalu mentakwil istiwaa' dengan makna istaulaa (menguasi) –dan inysaa Allah hal ini akan dibahas pada kesempatan lain. Bahkan dalam halaman yang sama yang tidak dinukil oleh Abu Salafy ternyata Mulla 'Ali Al-Qoori menyebutkan riwayat dari Abu Hanifah yang membungkam Ustadz Abu Salafy cs. Marilah kita melihat langsung lembaran tersebut yaitu dari buku Syarh Al-Fiqh Al-Akbar karya Mulla 'Ali Al-Qoori (hal 126)

Dan Abu hanifah rahimahullah ditanya tentang bahwasanya Allah subhaanahu turun dari langit. maka beliau menjawab : Allah turun, tanpa (ditanya) bagaimananya, …

Bukankah dalam nukilan ini ternyata Abu Hanifah menetapkan sifat nuzuulnya Allah ke langit dunia?, Abu Hanifah menetapkan hal itu tanpa takwil dan tanpa bertanya bagaimananya. Karena memang bagaimana cara turunnya Allah tidak ada yang menetahuinya.

Berkata Abu Salafy
:
Penegasan Imam Syafi’i (w. 204 H)

Telah dinukil dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.

”Sesungguhnya Allah –Ta’ala- tel;ah ada sedangkan belum ada temppat. Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali, seperti sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.”[ Ithâf as Sâdah,2/24])) –demikian perkataan Abu Salafy-



Firanda berkata :

Para pembaca yang budiman marilah kita melihat sumber pengambilan Abu Salafy secara langsung dari kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 2/24

Ana katakan bahwasanya –sebagaimana kebiasaan Abu Salafy- maka demikian juga dalam penukilan ini Abu Salafy menukil perkataan Imam As-Syaafi'i tanpa sanad, maka kami berharap pak Ustadz Abu Salafy cs untuk mendatangkan sanad periwayatan dari Imam As-Syafii ini.

Abu Salafy berkata :
Penegasan Imam Ahmad ibn Hanbal (W.241H)

Imam Ahmad juga menegaskan akidah serupa. Ibnu Hajar al Haitsami menegaskan bahwa Imam Ahmad tergolong ulama yang mensucikan Allah dari jismiah dan tempat. Ia berkata:

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه.

”Adapun apa yang tersebar di kalangan kaum jahil yang menisbatkan dirinya kepada sang imam mulia dan mujtahid bahwa beliau meyakini tempat/arah atau semisalnya adalah kebohongan dan kepalsuan belaka  atas nama beliau.”[ Al Fatâwa al Hadîtsiyah:144.] –demikian perkataan Abu Salafy-



Firanda berkata :

Pada nukilan di atas sangatlah jelas bahwasanya Abu Salafy tidak sedang menukil perkataan Imam Ahmad, akan tetapi sedang menukil perkataan Ibnu Hajar Al-Haitsami tentang Imam Ahmad. Ini merupakan tadliis dan talbiis. Abu Salafy membawakan perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami ini dibawah sub judul "Penegasan Imam Ahmad", namun ternyata yang ia bawakan bukanlah perkataan Imam Ahmad apalagi penegasan. Seharusnya sub judulnya : "Penegasan Ibnu Hajr Al-Haitsami".



Abu Salafy berkata:
Penegasan Imam Ghazzali:

Imam Ghazzali menegaskan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn-nya,4/434:

أن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الاقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل به ولا هو منفصل عنه ، قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته ”

“Sesungguhnya Allah –Ta’ala- Maha suci dari tempat dan suci dari penjuru dan arah. Dia tidak di dalam alam tidak juga di luarnya. Ia tidak bersentuhan dengannya dn tidak juga berpisah darinya. Telah membuat bingun akal-akal kaum-kaum sehingga mereka mengingkari-Nya, karena mereka tidak sanggunp mendengar dan mengertinya.”

Dan banyak keterangan serupa beliau utarakan dalam berbagai karya berharga beliau.

Penegasan Ibnu Jauzi

Ibnu Jauzi juga menegaskan akidah Isla serupa dalam kitab Daf’u Syubahi at Tasybîh, ia berkata:

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.

“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk.”[ Daf’u Syubah at Tasybîh (dengan tahqiq Sayyid Hasan ibn Ali as Seqqaf):130])) –demikian perkataan Abu Salafy-

Firanda berkata :

Rupanya tatkala Abu Salafy tidak mampu untuk menemukan satu riwayatpun dari kalangan salaf dengan sanad yang shahih yang mendukung aqidah karangannya maka ia terpaksa mengambil perkataan para ulama mutaakhkhiriin semisal Al-Gozaali yang wafat pada tahun 506 H dan Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 H.

Adapun Al-Gozaali maka Abu Salafy menukil perkataannya dari kitab Ihyaa 'Uluum Ad-Diin. Sesungguhnya para ulama telah mengingatkan akan kerancuan pemikian aqidah Al-Gozaali dalam kitabnya ini. Diantara kerancuan-kerancuan tersebut perkataan Al-Gozaali :


"Dihikayatkan bahwasanya Abu Turoob At-Takhsyabi kagum dengan seorang murid, Abu Turob mendekati murid tersebut dan mengurusi kemaslahatan-kemaslahatan sang murid, sedangkan sang murid sibuk dengan ibadahnya dan wajd-wajdnya. Pada suatu hari Abu Turob berkata kepada sang murid, "Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid", sang murid berkata, "Aku sibuk". Tatkala Abu Turob terus menerus dan serius mengulang-ngulangi perkataannya, "Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid", akhirnya sang muridpun berkata, "Memangnya apa yang aku lakukan terhadap Abu Yaziid, aku telah melihat Allah yang ini sudah cukup bagiku sehingga aku tidak perlu dengan Abu yaziid". Abu Turoob berkata, "Maka dirikupun naik pitam dan aku tidak bisa menahan diriku, maka aku berkata kepadanya : "Celaka engkau, janganlah engkau terpedaya dengan Allah Azza wa Jalla, kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid sekali maka lebih bermanfaat bagimu daripada engkau melihat Allah tujuh puluh kali". Maka sang muridpun tercengang dan mengingkari perkataan Abu Turoob. Iapun berkata, "Bagaimana bisa demikian?". Abu Turoob berkata, "Celaka engkau, bukankah engkau melihat Allah di sisimu, maka Allahpun nampak untukmu sesuai dengan kadarmu, dan engkau melihat Abu Yaziid di sisi Allah dan Allah telah nampak sesuai dengan kadar abu Yaziid". Maka sang murid faham dan berkata, "Bawalah aku ke Abu Yaziid"…

Aku berkata kepada sang murid, "Inilah Abu Yaziid, lihatlah dia", maka sang pemuda (sang murid)pun melihat Abu Yaziid maka diapun pingsan. Kami lalu menggerak-gerakan tubuhnya, ternyata ia telah meninggal dunia. Maka kamipun saling bantu-membantu untuk menguburkannya. Akupun berkata kepada Abu Yaziid, "Penglihatannya kepadamu telah membunuhnya". Abu Yaziid berkata, "Bukan demikian, akan tetapi sahabat kalian tersebut benar-benar dan telah menetap dalam hatinya rahasia yang tidak terungkap jika dengan pensifatan saja (sekedar cerita saja). Tatkala ia melihatku maka terungkaplah rahasia hatinya, maka ia tidak mampu untuk memikulnya, karena dia masih pada tingkatan orang-orang yang lemah yaitu para murid, maka hal ini membunuhnya".

Al_Gozzaalii mengomentari kisah ini dengan berkata, "Ini merupakan perkara-perkara yang mungkin terjadi. Barangsiapa yang tidak memperoleh sedikitpun dari perkara-perkara ini maka hendaknya jangan sampai dirinya kosong dari pembenaran dan beriman terhadap mungkinnya terjadi perkara-perkara tersebut…."

Oleh karenanya para ulama memperingatkan akan kerancuan-kerancuan yang terdapat dala kitab Ihyaa' uluum Ad-Diin.

Yang anehnya… diantara para ulama yang keras dalam memperingatkan kerancuan kitab ini adalah Ibnu Jauzi sendiri.

Ibnul Jauzi berkata (dalm kitabnya Talbiis Ibliis, tahqiq DR Ahmad bin Utsmaan Al-Maziid, Daar Al-Wathn, 3/964-965):

Dan datang Abu haamid Al-Gozzaali lalu iapun menulis kitab "Ihyaa (Uluum Ad-Diin-pent)"… dan dia memenuhi kitab tersebut dengan hadits-hadits yang batil –dan dia tidak mengetahui kebatilan hadits-hadits tersebut-. Dan ia berbicara tentang ilmu Al-Mukaasyafah dan ia keluar dari aturan fiqh. Ia berkata bahwa yang dimaksud dengan bintang-bintang, matahari, dan rembulan yang dilihat oleh Nabi Ibrohim merupkan cahaya-cahaya yang cahaya-cahaya tersebut merupakan hijab-hijabnya Allah. Dan bukanlah maksudnya benda-benda langit yang sudah ma'ruuf.". Mushonnif (Ibnul Jauzi) berkata, "Perkataan seperti ini sejenis dengan peraktaan firqoh Bathiniyah". Al-Gozzaali juga berkata di kitabnya "Al-Mufsih bil Ahwaal" : Sesungguhnya orang-orang sufi mereka dalam keadaan terjaga melihat para malaikat, ruh-ruh para nabi, dan mendengar suara-suara dari mereka, dan mengambil faedah-faedah dari mereka. Kemudian kondisi mereka (yaitu orang-orang sufi) pun semakin meningkat dari melihat bentuk menjadi tingkatan derajat-derajat yagn sulit untuk diucapkan"

Dan masih banyak perkataan para ulama yang mengingatkan akan bahayanya kerancuan-kerancuan pemikiran Al-Gozzaali, diantaranya At-Turtusi, Al-Maaziri, dan Al-Qodhi 'Iyaadh.

Maka saya jadi bertanya tentang kitab Ihyaa Uluum Ad-Diin, apakah kita mengikuti pendapat Ustadz Abu Salafy yang majhuul untuk menjadikan kitab tersebut sebagai sumber aqidah?, ataukah kita mengikuti perkataan Ibnu Jauzi??

Adapun perkataan Ibnul Jauzi maka sesungguhnya Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid Al-Asmaa was sifaat mengalami kegoncangan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rojab Al-Hanbali. Beliau berkata :

"Dan diantara sebab kritkan orang-orang terhadap Ibnul Jauzi –yang ini merupakan sebab marahnya sekelompok syaikh-syaikh dari para sahabat kami (yaitu syaikh-syaikh dari madzhab hanbali-pent) dan para imam mereka dari Al-Maqoodisah dan Al-'Altsiyyiin mereka marah terhadap condongnya Ibnul Jauzi terhadap takwiil pada beberapa perkatan Ibnul Jauzi, dan keras pengingkaran mereka terhadap beliau tentang takwil beliau.

Meskipun Ibnul Jauzi punya wawasan luas tentang hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkaitan dengan pembahasan ini hanya saja beliau tidak mahir dalam menghilangkan dan menjelaskan rusaknya syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para ahli kalam (filsafat). Beliau mengagungi Abul Wafaa' Ibnu 'Aqiil… dan Ibnu 'Aqiil mahir dalam ilmu kalam akan tetapi tidak memiliki ilmu yang sempurna tentang hadits-hadits dan atsar-atsar. Oleh karenanya perkataan Ibnu 'Aqiil dalam pembahasan ini mudhthorib (goncang) dan pendapat-pendapatnya beragam (tidak satu pendapat-pent), dan Abul Faroj (ibnul Jauzi) juga mengikuti Ibnu 'Aqiil dalam keragaman tersebut."  (Adz-Dzail 'alaa Tobaqootil Hanaabilah, cetakan Daarul Ma'rifah, hal 3/414 atau cetakan Al-'Ubaikaan, tahqiq Abdurrahman Al-'Utsaimiin 2/487)

Para pembaca yang budiman, Ibnu Rojab Al-Hanbali telah menjelaskan bahwasanya aqidah Ibnul Jauzi  dalam masalah tauhid Al-Asmaa' was Sifaat tidaklah stabil, bahkan bergoncang. Dan Ibnul Jauzi –yang bermadzhab Hanbali- telah diingkari dengan keras oleh para ulama madzhab Hanbali yang lain. Sebab ketidakstabilan tersebut karena Ibnul Jauzi banyak mengikuti pendapat Ibnu 'Aqiil yang tenggelam dalam ilmu kalam (filsafat).

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis mendukung madzhab At-Tafwiidh, sedangkan dalam kitabnya Majaalis Ibni Jauzi fi al-mutasyaabih minal Aayaat Al-Qur'aaniyah menetapkan sifat-sifat khobariyah, dan pada kitabnya Daf' Syubah At-Tasybiih mendukung madzhab At-Takwiil (lihat penjelasan lebih lebar dalam risalah 'ilmiyyah (thesis) yang berjudul "Ibnul Jauzi baina At-Takwiil wa At-Tafwiidh" yang ditulis oleh Ahmad 'Athiyah Az-Zahrooni. Dan bisa didownload di

http://www.4shared.com/file/246344257/16845e7/_____-__.html

Adapun perkataan Ibnu Jauzy rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Abu salafy yaitu :

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.

“Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk

Maka saya katakan :

Pertama : Abu Salafy kurang tepat tatkala menerjemahkan "Al-Mutahayyizaat" dengan benda berbentuk. Yang lebih tepat adalah jika diterjemahkan dengan "perkara-perkara yang bertempat"

Kedua : Kalau kita benar-benar merenungkan perkataan Ibnul Jauzy ini maka sesungguhnya perkataan ini bertentangan dengan penjelasan Imam Ahmad sebagaimana telah lalu tatkala Imam Ahmad berkata :"Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya. Katakan lagi kepadanya, "Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?". Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut.

Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah.

Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk.

Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar Dzat-Nya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah" (Ar-Rod 'alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)

Jelas di sini perkataan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Allah di luar 'alam, tidak bersatu dengan makhluknya. Hal ini jelas bertentangan dengan peraktaan Ibnu Jauzi yang berafiliasi kepada madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketiga : Peraktaan Ibnul Jauzy –rahimahullah- "bahwasanya Allah tidak di dalam 'alam semesta dan juga tidak di luar alam" melazimkan bahwasanya Allah tidak ada di dalam kenyataan, akan tetapi Allah hanya berada dalam khayalan. Karena ruang lingkup wujud hanya mencakup dua bentuk wujud, yaitu Allah dan 'alam semesta, jika Allah tidak di dalam 'alam dan juga tidak di luar 'alam berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka jadilah Allah itu pada hakekatnya tidak ada.


Kesimpulan :

Demikianlah para pembaca yang budiman penjelasan tentang hakikat dari artikel yang ditulis oleh Abu Salafy.
Kesimpulan yang bisa di ambil tentang abu salafy adalah sebagai berikut :

Pertama : Ana masih bingung apakah Ustadz Abu Salafy adalah seseorang yang berpemahaman Asyaa'iroh murni ataukah lebih parah daripada itu, yaitu ada kemungkinan ia berpemahaman jahmiyah atau mu'tazilah. Karena ketiga firqoh ini sepakat bahwasanya Allah tidak di atas langit.

Kedua : Atau bahkan ada kemungkinan Al-Ustadz berpemahaman Syi'ah Rofidhoh yang juga berpemahaman bahwasanya Allah tidak di atas langit. Semakin memperkuat dugaan ini ternyata Al-Ustadz Abu Salafy banyak menukil dari buku-buku Rafidhoh. Selain itu Al-Ustadz Abu Salafy juga dengan tegas dan jelas mengutuk Mu'awiyyah radhiallahu 'anhu. Oleh karenanya ana sangat berharap Al-Ustadz Abu Salafy bisa menjelaskan siapa dirinya sehingga tidak lagi majhuul. Dan bahkan ana sangat bisa berharap bisa berdialog secara langsung dengan Al-Ustadz.

Ketiga : Dari penjelasan di atas ternyata Al-Ustadz Abu Salafy nekat mengambil riwayat dari buku yang telah difonis oleh Al-Ustadz sendiri bahwa buku tersebut adalah kedusataan demi untuk mendukung aqidah Abu Salafy. Maksud ana di sini adalah buku Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah dari riwayat Abu Muthii' Al-Balkhi

Keempat : Abu Salafy juga ternyata melakukan tadlis (muslihat) dengan memberi sub judul "Penegasan Imam Ahmad", namun yang dinukil oleh Al-Ustadz adalah perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami

Kelima : Aqidah yang dipilih oleh Abu Salafy adalah sebagaimana yang dinukil oleh Abu Salafy dari Ibnul Jauzi

وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه

"Hendaknya dikatakan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak diluar alam"

Inilah aqidah yang senantiasa dipropagandakan oleh Asyaa'iroh Mutaakhirin seperti Fakhrurroozi dalam kitabnya Asaas At-Taqdiis.

Dan aqidah seperti ini melazimkan banyak kebatilan, diantaranya :


-  Sesungguhnya sesuatu yang disifati dengan sifat seperti ini (yaitu tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam, dan tidak mungkin diberi isyarat kepadanya) merupakan sesuatu yang mustahil. Dan sesuatu yang mustahil menafikan sifat wujud. Oleh karenanya kelaziman dari aqidah seperti ini adalah Allah itu tidak ada

-  Perkataan mereka "Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam" pada hakekatnya merupakan penggabungan antara naqiidhoin (penggabungan antara dua hal yang saling bertentangan). Hal ini sama saja dengan perkataan "Dia tidak di atas dan juga tidak di bawah" atau "Dia tidak ada dan juga tidak tidak ada". Dan penggabungan antara dua hal yang saling kontradiksi (bertentangan) sama halnya dengan meniadakan dua hal yang saling bertentangan. Maka perkataan "Allah tidak di alam dan juga tidak diluar alam" sama dengan perkataan "Allah tidak tidak di alam dan juga tidak tidak di luar alam". Dan telah jelas bahwasanya menggabungkan antara dua hal yang saling bertentangan atau menafikan keduanya merupakan hal yang tidak masuk akal, alias mustahil

-   Pensifatan seperti ini (yaitu : tidak di dalam alam dan tidak di luar alam, tidak di atas dan tidak di bawah) merupakan sifat-sifat sesuatu yang tidak ada. Jika perkaranya demikian maka sesungguhnya orang yang beraqidah terhadap Allah seperti ini telah jatuh dalam tasybiih. Yaitu mentasybiih (menyerupakan) Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau mentasybiih Allah dengan sesuatu yang mustahil.

-   Pensifatan Allah dengan sifat-sifat seperti ini masih lebih tidak masuk akal dibandingkan aqidah orang-orang hululiah (seperti Ibnu Arobi yang meyakini bahwa Allah bersatu atau menempati makhluknya). Meskipun aqidah hulul juga tidak masuk akal akan tetapi masih lebih masuk akal (masih lebih bisa direnungkan oleh akal) dibandingkan dengan aqidah Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di alam dan juga tidak di luar alam, tidak bersatu dengan alam dan tidak juga terpisah dari alam.

Keenam : Abu Salafy menolak keberadaan Allah di atas karena meyakini hal ini melazimkan Allah akan diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk. Maka kita katakana, aqidahnya ini menunjukan bahwasanya Abu Salafylah yang terjerumus dalam tasybiih, dan dialah yang musyabbih. Kenapa…??. Karena Abu Salafy sebelum menolak sifat Allah di atas langit ia mentasybiih dahulu Allah dengan makhluk. Oleh karenanya kalau makhluk yang berada di atas sesuatu pasti diliputi oleh tempat. Karenanya Abu Salafy mentasybiih dahulu baru kemudian menolak sifat tingginya Allah.

Ternyata hasil aqidah yang diperoleh Abu Salafy juga merupakan bentuk tasybiih. Karena aqidah Abu Salafy bahwasanya Allah tidak di dalam 'alam dan juga tidak di luar alam merupakan bentuk mentasybiih Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang mustahil (sebagaimana telah dijelaskan dalam point kelima di atas). Jadilah Abu Salafy musyabbih sebelum menolak sifat dan musyabbih juga setelah menolak sifat Allah.

Ketujuh : Abu Salafy tidak menemukan satu perkataan salaf (dari generasi sahabat hingga abad ke tiga) yang mendukung aqidahya, oleh karenanya Abu Salafypun nekat untuk berdusta atau mengambil dari riwayat-riwayat yang tidak jelas dan tanpa sanad, atau dia berusaha mengambil perkataan-perkataan para ulama mutaakhiriin.

Bersambung….

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 23 Dzul Qo'dah 1431 H / 31 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com